oki sugiyarto

Minggu, 11 Juli 2010

Biosekuriti pada ayam

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Ayam buras atau ayam kampung merupakan ayam tradisional yang sudah berada di Indonesia ini semenjak ratusan tahun yang lalu, bukti sejarah memperlihatkan sudah ada sejak Zaman Kerajaan Kutai dahulu (Marhijanto, 1998). Keberadaannya sebagai makanan yang lezat, sumber uang dan tabungan bagi pemiliknya semakin jelas dengan adanya sistem upeti untuk pusat-pusat kerajaan zaman itu. Kondisi sosio-budaya tempat ayam-ayam tradisional ini hidup membuat ia dinamakan ayam kampung (Rasyaf, 2005).
Menurut Rasyaf (2001), ayam-ayam yang diternakan kini (Gallus domesticus) berasal dari ayam hutan di Asia Tenggara yaitu ayam hutan (Gallus varius-varius Linnaeus) . Ayam hutan ini kemungkinan berasal dari pulau Jawa. Akan tetapi, saat ini ayam hutan sudah tersebar sampai ke Pulau Nusa Tenggara. ayam hutan jantan, kepala dan punggungnya berwarna hitam kehijauan mengkilat. Tiap bulu pada pangkal ekor berwarna kekuningan. Ekornya hitam, panjang dan berbentuk garpu. Pada ayam betina bulunya berwarna kecoklatan. Ekornya sedikit lebih pendek dibandingkan panjang badannya.

Produktifitas ayam kampung memang rendah, rata-rata pertahun hanya 60 butir. Berat badan ayam jantan tua (jago) tidak lebih dari 1,9 kg sedangkan yang betina lebih rendah lagi (Marhijanto, 1998). Populasi ayam buras di indonesia pada tahun 2008 adalah 290.805.000 (BPS, 2008) sedangkan di Nusa Tenggara Timur populasinya pada tahun 2008 mencapai 15.050.065 ekor dengan permintaan kebutuhan daging sebanyak 9.315.004 kg (Disnak NTT, 2007). Dengan begitu banyaknya permintaan tersebut maka peluang untuk beternak ayam kampung semakin terbuka.
Ternak ayam buras hampir semuanya dipelihara oleh peternak kecil di perkotaan maupun di pedesaan. Umumnya ayam dipelihara secara ekstensif (tidak dikandangkan) dan bila dikandangkan tempatnya sangat dekat bahkan berbaur dengan pemukiman. Pembudidayaan ayam buras belum mengikuti good farming practice, sehingga sangat rentan terhadap serangan berbagai penyakit. Dengan kondisi tersebut, restrukturisasi manajemen peternakan unggas lokal sangat diperlukan sebagai salah satu upaya pemutusan mata rantai utama penyebaran penyakit antar unggas maupun antara unggas ke manusia.
Berjangkitnya wabah penyakit flu burung (Avian influenza) telah menyebabkan kerugian cukup besar bagi industri perunggasan dan diperkirakan mencapai sekitar Rp 4 triliun (Deptan, 2009). Banyak ternak unggas yang mati maupun dimusnahkan akibat penyakit ini. Konsumen ragu untuk mengkonsumsi produk unggas, secara tidak langsung berdampak pada sektor budidaya. Salah satu penyebab sulitnya penanggulangan penyakit Avian influenza adalah unggas dipelihara pada lokasi tersebar, sehingga sulit dikontrol. Disamping itu pengelolaan pasar tradisional, pengawasan TPA (Tempat Pemotongan Ayam), pengumpul dan penjualan unggas hidup serta pengawasan lalutintas unggas masih belum sesuai dengan harapan pernerintah. Penerapan biosekuriti, manajemen perkandangan, tata ruang, dan program vaksinasi belurn dilakukan secara komprehensif atau masih bersifat parsial, karena berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh usaha peternakan unggas skala kecil (Dirjenpeternakan, 2007).
Adanya variasi dalam usaha peternakan ayam dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya sistem pemberian makanan, sistem perkandangan dan lingkungan. Lingkungan adalah sesuatu yang sangat luas, mengacu pada semua faktor selain genetik, yang mempengaruhi produktivitas dan kesehatan seekor ternak. Karena pentingnya pengendalian faktor lingkungan terhadap kesehatan ternak ayam maka diperlukan suatu usaha dalam mencegah terjangkit dan menyebarnya berbagai penyakit yang dapat mengganggu kesehatan ternak, salah satu upaya tersebut adalah dengan penerapan sistem biosekuriti.


1.2 TUJUAN DAN MAMFAAT
Tujuan dari pembelajaran ini adalah untuk mengetahui fungsi dan langkah-langkah penerapan biosekuriti di lingkungan peternakan ayam buras. Sedangkan mamfaat dari pembelajaran ini adalah untuk mengetahui penerapan prosedur biosekuriti secara menyeluruh sehingga mampu menerapkannya dalam lingkungan peternakan ayam buras.



















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TINJAUAN PUSTAKA
Biosekuriti adalah idiom yang disusun oleh dua kata yaitu: bio (hidup) dan secure (aman), atau secara harfiah bisa bermakna upaya pengamanan mahluk hidup (baca: ternak). Pengamanan yang dimaksud adalah pengamanan ternak ayam dari gangguan penyakit (Saptono, 2009). Dengan pengertian seperti itu, maka pengertian biosekuriti menjadi sangat luas dan cenderung bias.
Untuk itu penyeragaman definisi harus dilakukan, sehingga implementasi dilapangan bisa diukur dengan parameter yang jelas. Secara umum biosekuriti bisa didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari rangkaian program yang mencakup kebijakan dan praktek yang dirancang untuk mencegah masuk dan menyebarnya patogen pada ayam. Patogen bisa berupa virus, bakteri, parasit (termasuk protozoa), jamur, dll (Rudiyanto, 2009).

2.2 DASAR TEORI
Asal mula ilmu lingkungan adalah ekologi, yaitu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dan lingkungannya di mana interaksi tersebut akan menentukan produktivitas, ukuran populasi dan persebaran organisme dan sebaliknya akan menentukan rona lingkungan. Ayam kampung (Gallus domesticusi) merupakan hasil domestikasi dari ayam hutan Asia (Gallus varius-varius Linnaeus)(Rasyaf, 2001).
Di dalam ilmu epidemiologi (ilmu yang mempelajari sebaran penyakit), dikenal istilah segitiga epidemiologi, yang meliputi inang (host), lingkungan, dan agen penyakit. Keseimbangan tiga hal ini harus dijaga, salah satu caranya dengan biosekuriti (Darmawan, 2010). Ginting (2010) menambahkan, biosekuriti dilakukan dengan beberapa alasan. Yakni sebagai usaha pencegahan penyakit, menjaga kesehatan ternak, menjaga pertumbuhan ternak agar tetap baik dengan rasio konversi pakan yang baik pula, menekan biaya kesehatan agar lebih murah, memperoleh hasil/produk yang bagus, agar kualitas pangan yang dihasilkan menjadi lebih baik bagi konsumen dan akhirnya peternakan juga bisa memperoleh keuntungan lebih banyak.
BAB III
BIOSEKURITI PADA TERNAK UNGGAS

Menurut Saptono (2009) rangkaian program biosekuriti pada ternak unggas mencakup tiga aspek utama, tiga aspek tersebut adalah:
1) Isolasi
Isolasi adalah berbagai upaya yang dilakukan untuk memberi barrier bagi ayam dari serangan kuman patogen penyebab penyakit. Penjabaran lebih lanjut, isolasi berarti menjauhkan ayam (flock) dari orang, kendaraan, dan benda yang dapat membawa patogen. Menciptakan lingkungan tempat ayam terlindung dari pembawa patogen (orang, hewan lain, udara, air, dll).
Langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk menerapkan isolasi bisa berupa; menyimpan ayam di kandang tertutup yang sudah di screening di farm. Menerapkan manajemen all in all out. Memisahkan ayam dari hewan lain dan dari spesies unggas lain. Tidak boleh ada tempat dengan air menggenang di wilayah farm.
2) Pengendalian Lalu Lintas
Pengendalian lalu lintas adalah berbagai upaya untuk men-screening orang, alat, barang dan hewan lain, agar kegiatan lalu lintas yang dilakukannya tidak menyebabkan masuknya patogen ke dalam farm.
Penjabaran lebih lanjut, pengendalian lalu lintas berarti kita tidak boleh mengijinkan siapapun masuk ke kandang, apalagi mendekati ayam-ayam kita. Jika memang mereka harus masuk, maka harus dipastikan bahwa mereka harus mengikuti tindakan biosekuriti khusus (screening). Membatasi jumlah orang, kendaraan dan alat-alat yang berada di wilayah isolasi dan yang keluar dari wilayah isolasi ke daerah lain.

3) Sanitasi
Sanitasi adalah berbagai upaya yang ditujukan untuk membunuh patogen. Lebih lanjut, sanitasi bisa dijabarkan sebagai tindakan pembersihan (cleaning) dan desinfeksi untuk membunuh kuman.
Sanitasi juga berarti upaya pengendalian hama yang bertujuan untuk mencegah hama (burung liar, hewan pengerat & serangga) membawa patogen. Dan pembuangan bangkai atau karkas yang ditujukan untuk menjauhkan kontaminasi dari flok.
Implementasi sanitasi harus dilaksanakan secara tertata baik untuk kandang, alat, kendaraan maupun orang. Wujud nyata dari implementasi ini misalnya: pekerja mencuci tangan dan kaki, berganti pakaian dan sepatu sebelum bekerja dengan ayam. Membersihkan dan mendesinfeksi alat-alat secara teratur. Membersihkan dan mendesinfeksi kandang-kandang dalam masa peralihan antara satu periode ke periode berikutnya, dan memiliki program pengendalian hama.
Sedangkan menurut Sudarisman (2000), biosekuriti mencakup tiga hal utama yaitu 1) Meminimalkan keberadaan penyebab penyakit, 2) Meminimalkan kesempatan agen penyakit berhubungan dengan induk semang dan 3) Membuat tingkat kontaminasi lingkungan oleh agen penyakit seminimal mungkin. Selanjutnya bila biosekuriti dilihat dari segi hirarki terdiri atas tiga komponen yakni biosekuriti konseptual, biosekuriti struktural dan biosekuriti operasional.
Biosekuriti konseptual merupakan biosekuriti tingkat pertama dan menjadi basis dari seluruh program pencegahan penyakit, meliputi pemilihan lokasi kandang, pemisahan umur unggas, kontrol kepadatan dan kontak dengan unggas liar, serta penetapan lokasi khusus untuk gudang pakan atau tempat mencampur pakan. Biosekuriti struktural, merupakan biosekuriti tingkat kedua, meliputi hal-hal yang berhubungan dengan tata letak peternakan (farm), pernbuatan pagar yang benar, pembuatan saluran pembuangan, penyediaan peralatan dekontaminasi, instalasi penyimpanan pakan, ruang ganti pakaian dan peralatan kandang. Sedangkan biosekuriti operasional adalah biosekuriti tingkat ketiga, terdiri dari prosedur manajemen untuk mencegah kejadian dan penyebaran infeksi dalam suatu farm. Biosekuriti ini harus ditinjau secara berkala dengan melibatkan seluruh karyawan, berbekal status kekebalan unggas terhadap penyakit. Biosekuriti operasional terdiri atas tiga hal pokok, yakni a) pengaturan traffic control,
b) pengaturan dalam farm dan,
c) desinfeksi yang dipakai untuk semprot kandang maupun deeping seperti golongan fenol (alkohol, lisol dan lainnya); formalin; kaporit; detergen, iodine dan vaksinasi.
Berdasarkan penerapan biosekuriti, sistem produksi unggas dikelompokkan menjadi 4 sektor. Pembagian sektoral ini awalnya muncul dalam upaya pemberantasan penyakit Avian influenza. (Guiding principles for HPAI surveillance and diagnostic networking in Asia, Bangkok July 2004). Keempat sektor tersebut, yaitu:
• Sektor 1: merupakan peternakan yang melaksanakan biosekuriti sangat ketat (high level biosecurity) sesuai dengan prosedur standar. Dalam sektor ini misalnya adalah golongan industrial integrated system seperti pembibitan (breeding farm)
• Sektor 2: merupakan peternakan komersial dengan moderate to high level biosecurity. Yang termasuk dalam sektor ini adalah peternakan dimana ayam ditempatkan dalam ruangan tertutup/indoors, sehingga unggas dan burung lain tidak dapat kontak dengan ternak ayam. Penggunaan kandang close house atau semi close house
• Sektor 3: Peternakan komersial yang melaksanakan biosekuriti alakadarnya dan masih terdapat kontak dengan unggas lain atau orang yang masuk peternakan. Umumnya peternakan komersial yang ada di Indonesia masuk dalam sektor ini.
• Sektor 4: Unggas (ayam) yang dipelihara secara tradisional dengan minimal biosekuriti, produknya ditujukan untuk dikonsumsi atau dijual untuk kebutuhan daerah setempat. Masuk dalam sektor ini adalah ayam buras di kampung-kampung.






BAB IV
PROSEDUR BIOSEKURITI

4.1 LOKASI BIOSEKURITI:
1. Gerbang Utama : Di lokasi ini yang bertanggung jawab adalah Watch Man (satpam)
Gerbang utama adalah tempat yang paling penting harus di perhatikan, disini adalah tempat umum dimana semua orang dan berbagai kendaraan asing bisa masuk ke lokasi peternakan sebelum memasuki kawasan yang lain, demi keselamatan kesehatan yang harus di lakukan adalah:
a) Tugas satpam adalah harus mencatat, Semua Personal atau orang, dan mobil yang keluar masuk melalui pintu ini harus mengisi buku tamu, yang harus di catat adalah: waktu masuk, number mobil, berapa orang di dalam mobil tersebut, dan apa tujuan orang tersebut masuk ke dalam lokasi. Termasuk pekerja, dan mobil yang datang dari luar Harus di persilahkan masuk ke tempat lokasi setelah di spray menggunakan disinfektan.
b) Tempat lokasi Foot Dip (celup kaki yang berisi air disinfektan) dan tempat lokasi penyemprotan mobil harus di bersihkan sehari sekali atau ketika air sudah kotor.
c) Siapkan seragam khusus untuk orang yang masuk kedalam lokasi sebuah peternakan, jadi sebelum mereka masuk ke dalam, harus mandi terlebih dahulu, dan mengganti pakaian mereka dengan yang sudah di persiapkan tadi, tapi dengan catatan pakaian tersebut harus bagus dan bersih , demi kenyamanan si pengguna.
d) Orang yang membawa mobil kedalam lokasi peternakan (selain lokasi kandang) jangan di persilahkan membawa mobil kedalam lokasi kandang, gunakan mobil dalam yang sudah di persiapkan.
2. Kantor, yang bertanggung jawab adalah HC (health Control- vaccinator) ,
Bersihkan lingkungan yang berhubungan dengan penempatan vaksin (di kantor) gunakan disinfectant seminggu sekali,
3. Di Gerbang masuk yang menuju ke lokasi kandang (main entrance shower)
a) Semua Mobil yang masuk dan keluar harus melalui ruangan yang menggunakan auto spray dengan disinfectant,
b) Disinfectant harus dig anti jika lokasi vehicle dip di ketahui sudah kotor, dan perhatikan dosis yang digunakan adalah dosis yang dianjurkan oleh perusahaan yang membuat disinfectant tersebut.
4. Di Tempat pemeliharaan D.O.C, yang bertanggung jawab disini adalah: Leader flock, Assistant Leader, vaccinator, supervisor, dan veterinarian (dokter Hewan)
a) Semua barang yang banyak digunakan di kawasan D.O.C harus melalui disinpeksi sebelum di gunakan atau masuk ke kandang yang masih muda tersebut, apabila menggunakan barang dari luar (lokasi selain di kawasan tersebut atau barang baru) seharusnya di cuci terlebih dahulu dan disinfeksi, selanjutnya fumigasi.
b) Pastikan orang yang mau masuk ke dalam kandang yang ayamnya masih berumur di bawah 18 minggu harus mandi terlebih dahulu (tanpa terkecuali), dan menggunakan pakaian, sepatu but, yang sudah di sediakan khusus untuk orang yang mau masuk kedalam kandang,
c) Sepatu dan pakaian yang di pakai di dalam kandang, pastikan jangan di pakai untuk kerja di luar kandang, sepatu dan pakaian harus tetap terpisah, jangan bercampur-aduk (baju dalam dan baju luar) untuk menghindari kontaminasi penyakit dari luar ke dalam.
d) Orang yang masuk kedalam harus memasuki ruangan auto spray (dimana ruangan ini secara otomatis menyemburkan disinfectant) ketika orang masuk kedalamnya.
e) Foot dip (atau tempat cuci kaki yang berada di dalam kandang) harus tetap bersih, dan gunakan dosis yang sudah di tetapkan, ganti dengan secepatnya jika foot dip tersebut sudah kelihatan kotor, karena apabila kotor, larutan disinfectant tidak akan bekerja secara maksimal,
f) Seragam yang di gunakan untuk brooding di dalam kandang grower tersebut harus di rendam terlebih dahulu dengan menggunakan disinfectant sebelum di cuci.
g) Jangan menyimpan barang yang tidak di perlukan di dalam kandang tersebut, simpan barang yang di perlukan saja, karena barang yang tidak di perlukan apabila terus disimpan di dalam maka benda tersebut akan kotor dan kemungkinan akan menjadi tempat penyakit.
5. Di kandang yang sudah sudah bertelur /kandang layer. Yang bertanggung jawab disini adalah, supervisor, leader flock, dan assistant.
a) Nest box atau sangkar yang akan di gunakan untuk bertelur harusnya di spray terlebih dahulu dan baru boleh di tempatkan di dalam kandang.
b) Masukan nestbox atau sangkar kedalam kandang ketika ayam berumur 16 minggu, dengan tujuan ayam harus sudah belajar sebelum ayam memasuki umur layer (masa bertelur umur 23-65 minggu), dengan demikian ayam sudah belajar secara perlahan dan bertahap yang nantinya akan mengurang atau meminimalis telur lantai, karena telur lantai tidak akan di gunakan untuk H.E (hatching egg) telur yang layak tetas.
c) Gunakan sekam untuk mengisi nestbox atau sangkar, gunakan sekam yang masih baru, jangan gunakan sekam bekas, karena sekam yang tidak layak pakai akan mengakibatkan kontaminasi secara langsung, dimana telur akan melakukan kontak langsung dengan sekam ini.
d) Ketika ayam berumur 40 minggu, ganti lah sekam nestbox dengan sekam baru, dengan tujuan ketika umur ayam 40 minggu pastinya nestbox sudah kotor, dengan melakukan penggantian sekam tersebut maka kontaminasi telur yang berakibat dari sekam kotor akan bisa terisolasi dan di kurangi,

4.2 PEKERJAAN RUTIN DI DALAM KANDANG
Bersihkan pipa untuk ayam minum (nipple line), tankki air, dan flushing dengan menggunakan Hi-Chlone setiap 2 minggu sekali, yang bertujuan untuk menghindari tumbuhnya bio-film (kotoran yang menempel di dalam pipa nipple, yang nantinya akan berwarna hijau itu yang disebut bio-film).
Apabila menggunakan manual feeder atau yang biasa di sebut, "tempat makanan secara manual" mau yang di gantung atau yang berbentuk talang )linear feeder), bersihkan seminggu sekali dan cuci, karena feeder adalah barang yang sangat berbahaya jika tidak dirawat kebersihan-nya, ketika feeder kotor berkemungkinan besar ayam akan cepat terserang penyakit, yang di sebabkan dari micro bacteri yang tumbuh dan berkembang biak di feeder tersebut, maka hindari pemakaian feeder kotor.
Bersihkan cooling pad( coolingpad adalah sebuah system dimana akan berfungsi jika suhu di dalam kandang semakin panas) fungsinya adalah untuk menurunkan atau menstabilkan suhu, ketika suhu di dalam kandang melebihi panas 29,5 derajat selcius, maka coolingpad akan berjalan dengan membawa suhu yang relative rendah, dengan demikian suhu di dalam kandang akan stabil kembali. Dengan program ini maka bersihkan cooling pad setiap 2minggu sekali, karena apabila coolingpad kotor, atau bak collingpad kotor, secara langsung akan membawa penyakit ke dalam kandang dan menyeluruh kandang akan terkontaminasi, karena coolingpad adalah dimana sumber udara masuk secara bebas. Maka hindari coolingpad dan bak coolingpad kotor. Ketika sudah di bersihkan campurkan disinfectant kedalam bak coolingpad tersebut.
Untuk yang menggunakan kipas blower atau exhaust fan, bersihkan kipas ini secara teratur seminggu sekali, maka jika terjadi kipas kotor, kipas tersebut akan berat, dan fungsinya akan menurun, ketika fungsi kipas menurun atau semakin lambat, maka aliran udara di dalam kandang akan semakin lambat, dengan aliran udara lambat, amoniak akan meningkat, gejala gangguan pernafasan akan terjadi setelah beberapa hari, maka kipas utama harus tetap bersih supaya bisa berfungsi dengan baik. Jangan biarkan ammoniac di dalam kandang melebihi 50 ppm, jika terjadi amoniak tinggi maka langkah yang harus di lakukan adalah dengan mengganti sekam, bersihkan kipas, hindari sekam basah dikandang, dan menabur kapur di bawah slat, untuk mengeringkan lokasi yang basah.
Balik sekam setiap hari, untuk menghindari sekam lembab dan basah, dengan membalik sekam maka ammoniac yang ada di dalam sekam akan terbawa oleh angin kipas keluar, dengan demikian jika amoniak rendah ayam lebih jauh dari menderita peyakit pernafasan. Gunakan kapur jika di perlukan.
Bersihkan debu yang ada di dalam kandang, bersihkan tiap hari, karena debu sumber penyakit pernafasan, dan sumber penyakit lainnya.
Buang atau afkir ayam yang sakit, dan jangan membiarkan ayam sakit tinggal di dalam kandang, seleksi ayam yang sakit setiap hari dan ayam yang tidak layak telur. Maka jika ayam sakit terus tinggal di dalam kandang, maka penyakit tersebut akan cepat menular ke ayam yang lebih sehat. Maka segera-lah seleksi dan buang ayam yang sakit sebelum menjadi vektor penyebab menularnya penyakit ke ayam yang lain.
Cuci tangan anda sebelum dan sesudah melakukan seleksi telur, dengan tujuan untuk tetap bersih, maka jika telur tetap bersih maka kualitas telur tersebut akan lebih bagus untuk dijadikan telur tetas.
Lakukan pemberian racun tikus di dalam kandang 2 minggu sekali, karena tikus adalah sumber penyakit, jika tikus semakin banyak populasi nya di dalam kandang, maka kemungkinan besar penyakit yang akan di timbulkan dari tikus tersebut semakin besar, sebagai contoh, tikus akan mengambil makanan ayam atau memakan makanan ayam dari feeder, ketika tikus memakan makanan, tikus akan sambil mengeluarkan kotoran (berak) dengan demikian ayam yang memakan tai tikus teersebut akan menderita sakit, sperti salmonella pullorum, dan lain-lain, maka lakukan lah pemberian racun secara teratur di dalam kandang.
Ketika ada ayam yang mati di dalam kandang, maka segera ayam tersebut keluarkan dari kandang, dengan pastinya, ayam yang mati tersebut adalah ayam yang sudah sakit, untuk menghindari penularan penyakit dari ayam yang meti tersebut maka harus segera membuang ayam yang mati secara langsung.
Spray atau semprot lokasi kandang (bagian luar kandang) seminggu sekali, dengan menggunakan disinfectant secara teratur.

4.3 VAKSINASI
Penanggung jawab adalah vaksinator, supervisor, leader flock dan assistant leader.
1) Ikuti biosecuriti yang sudah di tetapkan, Sebelum melakukan vaksinasi, dari kantor atau dimana tempat vaksin di simpan, maka cara membawa vaksin harus benar.
2) Perhatikan dan catat kadaluarsa vaksin, jika vaksin sudah kaladuarsa maka jangan gunakan vaksin tersebut, gunakan vaksin yang belum kadaluarsa, hindari pemakaian vaksin jika kadar kadaluarsa nya kurang dari satu bulan.
3) Ketika vaksin sebelum di masukan ke tempat vaksin (mungkin termos vaksin-untuk membawa vaksin dari tempat penyimpanan ke kandang) maka satu jam sebelum vaksin disimpan, sebaiknya termos tersebut di isis dengan es batu, dan pastikan di dalam termos vaksin yang berisi es batu tersebut suhunya di bawah 2 drajat Celsius jangan melebihi 5 drajat. Karena jika vaksin di simpan di suhu yang panas maka vaksin hidup itu akan mati, dan tidak layak untuk di gunakan, untuk itu agar vaksin tetap hidup dan layak di gunakan maka kita harus menyimpan vaksin itu dengan suhu 1-5 drajat celcius.
4) Vaksin-lah ayam yang sehat saja, jangan memvaksin ayam yang sakit, karena ayam yang sakit tidak akan menerima reaksi dari vaksin tersebut
5) Ketika selesai vaksin, vial vaksin (botol vaksin) seharusnya jangan di buang sembarangan, bawa botol bekas vaksin tersebut ke tempat dimana anda menyimpan vaksin tersebut.
6) Rebus botol vaksin tersebut dengan menggunakan air panas, dengan tujuan untuk memastikan vaksin itu mati, dan buang lah ke tempat sampah yang jauh dari lokasi kandang.
7) Jika anda mempunyai sisa vaksin, maka sisa vaksin trersebut jangan di buang di sembarang tempat, campur sisa vaksin tersebut dengan disinfektan dan rebus dengan menggunakan air panas lalu buang ke tempat sampah yang jauh dari lokasi kandang.

4.4 TEMPAT POST MORTEM
Tempat ini adalah tempat untuk membedah ayam yang sakit atau ayam yang sudah mati untuk mengetahui penyakit apa yang di alami oleh ayam tersebut. Maka langkah-langkah biosecuriti yang harus di perhatikan adalah:
1) Ketika membawa ayam mati tersebut ke tempat post-mortem mungkin menggunakan mobil, maka mobil tersebut setelah membawa ayam yang mati, harus segera di bersihkan dan di cuci dengan menggunakan disinfectan, untuk menghindari penularan terhadap kandang yang lain.
2) Gunakan sepatu dan seragam terpisah, jadi jangan menggunakan seragam sembarangan ketika melakukan pembedahan, pakai lah seragam yang sudah di sediakan oleh pihak perusahaan.
3) Ketika sudah melakukan pembedahan, buang ayam tersebut atau bakar dengan menggunakan (incinerator) atau kubur, dan taburkan kapur beserta di sinfectant (jika anda mengubur ayam mati)
4) Orang yang sudah melakukan pembedahan ayam, jangan masuk lagi ke dalam kandang, tanpa terkecuali. Sebaiknya anda melakukan pembedahan ayam di waktu akhir kerja anda, atau di sore hari, jadi setelah selesai kerja (post mortem) anda langsung pulang dan jangan melakukan kontak langsung terhadap ayam-ayam yang masih hidup.
5) Spray tempat postmortem setiap hari dengan menggunakan di sinfectan, untuk menghindari penyebaran penyakit ke tempat atau kawasan kandang ayam





BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
1. Penerapan prosedur biosekuriti secara menyeluruh merupakan cara yang efektif dalam mencegah penyebaran penyakit pada ternak ayam buras.
2. Penggunaan desinfektan harus tepat dosisnya, tepat jumlah larutannya per satuan luas serta tepat waktu kontaknya.

5.2 SARAN
Biosekuriti hendaknya menjadi perilaku sehari-hari, atau gaya hidup semua orang yang terkait dengan budidaya ayam buras.











DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, R. 1985. Ilmu makanan Ternak Unggas. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta

BPS. 2008. www. BPS.go.id

Darmawan, C.B. dalam Trobos Edisi Pebruari 2010. www. Trobos.com

Deptan. 2009. www. Deptan.go.id

Dirjenpeternakan. 2007. Pedoman Budidaya Ternak Ayam Buras yang Baik (Good Farming Practice).

DisnakNTT. 2007. www. nttprov.go.id/disnak

Ginting, U.E. dalam Trobos Edisi Pebruari 2010. www. Trobos.com

Marhinjanto, B. 1998. Langkah Beternak Ayam Buras. Penerbit Arkola. Surabaya

Rasyaf, M. 2001. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Jakarta

Rasyaf, M. 2005. Pengelolaan Usaha Peternakan Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Jakarta

Rudiyanto, J. 2009. Dalam Infovet Edisi 184. Nopember 2009. Jakarta

Saptono. 2009. Dalam Infovet Edisi 184. Nopember 2009. Jakarta

Sudarisman. 2000. Dalam http://kedokteranhewan.blogspot.com/2007/10/biosecurity.html

penyakit ternak di Kecamatan Takari

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Berbagai lapisan masyarakat Indonesia sangat membutuhkan pangan hewani guna mendapatkan generasi bangsa yang sehat dan cerdas. Dari berbagai jenis pangan hewani asal peternakan, maka Negara Indonesia sudah dapat berswasembada untuk telur dan daging ayam broiler, akan tetapi belum dapat mencukupi kebutuhan akan pangan hewani asal daging sapi dan susu. Apresiasi masyarakat terhadap pangan hewani asal ternak cukup tinggi, walaupun secara umum masyarakat Indonesia baru dapat memenuhi 69,8% dari kebutuhan protein hewani (Suryana, 2007). Rataan konsumsi pangan hewani asal daging, susu dan telur masyarakat Indonesia adalah 4,1; 1,8 dan 0,3 gram/kapita/hari (Direktorat Jendral Peternakan, 2006). Angka angka tersebut barangkali jauh lebih rendah dari angka konsumsi standar Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi yang diselenggarakan oleh LIPI tahun 1989 yaitu sebanyak 6 gram/kapita/hari atau setara dengan 10,3 kg daging/kapita/tahun, 6,5 kg telur /kapita/tahun, dan 7,2 kg susu/kapita/tahun (Direktorat Jendral Peternakan, 2006). Namun demikian, dengan populasi sapi potong sebesar 11 juta ekor hanya mampu memenuhi produksi daging sapi nasional sebesar 306 ribu ton (pemotongan sekitar 1,5 juta ekor/tahun) atau baru memenuhi 69,8% dari kebutuhan nasional. Sehingga pemerintah masih memerlukan importasi bakalan sapi potong sejumlah 408 ribu ekor/tahun (setara dengan 56 ribu ton)(Suryana, 2007). Besarnya importasi bakalan sapi potong tentu saja akan sangat menguras devisa Negara dan membuat ketergantungan pada pihak luar.
Sejalan dengan program yang dicanangkan oleh pemerintah pusat tentang swasembada daging tahun 2014, maka pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) juga merencanakan program revitalisasi peternakan dengan mengembalikan NTT sebagai “gudang ternak” yang lebih dikenal dengan program “anggur merah”. Definisi “gudang ternak” dapat diinterpretasikan sebagai peningkatan populasi ternak sapi Bali dari 577.552 ekor pada tahun 2009 menjadi 722.823 ekor pada tahun 2013 (Dinas Peternakan Prop. NTT, 2010). Revitalisasi sektor peternakan di NTT harus dilakukan mengingat semakin meningkatnya permintaan akan kebutuhan daging, dimana peningkatan tersebut rata-rata 2,05% pertahun. Pada tahun 2008 kebutuhan daging sebesar 4.770 ton dan pada tahun 2009 sebesar 4.868 ton. Peningkatan permintaan daging akan diikuti dengan peningkatan jumlah ternak sapi Bali yang dipotong (Dinas Peternakan Prop. NTT, 2010), selain itu juga terjadi peningkatan jumlah ternak yang diantar-pulaukan (Suharyo dkk. (2007); Dinas Peternakan Prop. NTT (2010)).
Tingginya kebutuhan konsumsi daging sapi Bali di NTT tidak diimbangi dengan peningkatan produktifitasnya, dimana produktifitas ternak sapi di daerah ini sangat rendah dan mempunyai kecenderungan untuk semakin rendah dari tahun ke tahun. Hasil penelitian Jelantik (2001) mencatat produktivitas sapi Bali pada dua sistem pemeliharaan (gembala dan diikat) hanya 9,45 % dari populasi yang ada. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya ketersediaan dan kualitas bakalan.
Tingginya angka kematian pedet sebelum disapih merupakan faktor utama yang menyebabkan rendahnya ketersediaan bakalan sapi Bali di Pulau Timor . Beberapa penelitian yang telah diadakan di daerah ini pada umumnya mengungkapkan tingginya angka kematian pedet tersebut. Wirdahayati (1989) melaporkan bahwa tingkat kematian pedet pada sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif atau semi ekstensif di NTT berkisar antara 25 sampai 30%. Bamualim dkk (1990), Malessy dkk (1990) dan Bamualim (1992) mencatat kematian pedet mencapai 47 % dari jumlah yang dilahirkan. Tingkat kematian yang sangat tinggi yaitu lebih dari setengah (53,3%) juga pernah dilaporkan (Fattah, 1998). Survei yang belakangan dilakukan selama 2 tahun berturut-turut pada dua sistem pemeliharaan yang berbeda (gembala dan diikat) juga mengindikasikan bahwa kematian anak sapi tetap masih sangat tinggi (Jelantik, 2001). Nampak jelas bahwa kematian pedet merupakan faktor yang paling berperan yang menyebabkan kelangkaan bakalan untuk digemukan dan kemudian diantar pulaukan. Hasil penelitian Jelantik (2001) menyimpulkan bahwa hasil anak per tahun dari sekelompok betina induk hanya 21 % karena hampir setengah dari anak yang lahir mati sebelum berumur 1 tahun. Dari data-data tersebut bisa dibayangkan tingkat kerugian ekonomis yang telah dialami oleh peternak di daerah ini selama bertahun-tahun. Jumlah kematian pedet pertahunnya mencapai 66.464 ekor pedet dengan asumsi 35,1 % dari 192.024 ekor yang dilahirkan oleh sekitar 302.400 ekor betina pada tahun 1998 pada saat populasi sapi di Nusa Tenggara Timur mencapai 720 ribu ekor (Jelantik, 2001). Jika seekor pedet pada umur satu tahun dihargai Rp. 800.000 hingga Rp. 1.000.000 maka kerugian yang dialami peternak setiap tahunnya mencapai 53,17 sampai 66,5 miliar rupiah. Angka ini merupakan kerugian ekonomis yang sangat besar bagi daerah ini.
Menurut Mullik dkk (2007) pola kematian anak sapi Bali di pulau Timor terkonsentrasi pada dua bulan yaitu bulan Juli dan bulan Agustus, dimana kematian pada bulan Juli diduga disebabkan karena kekurangan pakan dan infeksi tali pusar (Omphalitis) sedangkan kematian bulan Agustus disebabkan karena penyakit diare dan cacing mata (Thelaziasis). Kematian anak sapi umur 1-2 tahun juga masih tinggi berkisar antara 4-21 % sedangkan kematian sapi dewasa berkisar antara 5-8% (Wirdahayati, 1994; Jelantik, 2001). Tingginya kematian sapi Bali di NTT diduga disebabkan karena kekurangan pakan pada musim kemarau dan juga karena penyakit. Angka kejadian penyakit di Kecamatan Takari pada tahun 2007 sebesar 874 ekor dari populasi ternak 14.685 ekor atau sekitar 5,95% sedangkan pada tahun 2008 sedikit menurun menjadi 760 ekor dari populasi ternak 14.816 ekor atau sekitar 5,1% (Puskeswan Takari, 2009). Berdasarkan data diatas maka diperlukan adanya suatu kajian tentang berbagai penyakit yang sering menyerang ternak sapi Bali di Kecamatan Takari Kabupaten Kupang.
2.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui berbagai penyakit ternak sapi di kecamatan Takari dan strategi mengatasinya.
2.3 Kegunaan
Kegunaan dari penulisan ini adalah diketahuinya berbagai penyakit kesehatan ternak sapi di kecamatan Takari dan strategi mengatasinya.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecamatan Takari
Kecamatan Takari merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Kupang yang berbatasan dengan kabupaten Timor Tengah Selatan dengan topografi yang berbukit-bukit. Secara administrasi kecamatan Takari terdiri dari 9 desa dan 1 kelurahan, dengan luas daerah 586.51 Km2 yang terdiri dari lahan basah 586 Ha, irigasi : 110 Ha, tadah hujan 242 Ha, lahan kering 33.590 Ha, dan pekarangan 373 Ha. Jumlah penduduk 18.553 jiwa dengan perincian laki-laki sebanyak 9.293 jiwa dan Perempuan 9.260 jiwa dengan tingkat kepadatan 32 jiwa/Km (Pemda Kupang, 2008).
Di bidang peternakan, populasi ternak di kecamatan Takari cukup tinggi, dimana pada tahun 2007 jumlah ternak sapi 14,685 ekor, kerbau 14 ekor, kuda 116 ekor, kambing 5,022 ekor dan babi 4,444 ekor (Dispet Kab.Kupang, 2008). Fasilitas penunjang yang ada adalah satu puskeswan dengan satu dokter hewan dan satu paramedis serta 2 tenaga penyuluh peternakan. Pada tahun 2008, ada 1.153 kasus penyakit ternak dengan rincian 760 kasus pada ternak sapi, 15 pada kuda, 151 pada kambing, 85 pada babi dan sisanya pada ternak ayam (Puskeswan, 2009). Kasus penyakit pada ternak sapi didominnasi oleh penyakit Septicemia Epizootika (SE) sebesar 35%, kemudian penyakit Thelaziasis 20%, Scabies 16%, Bloat 13%, Traumatis 11% dan sisanya penyakit Brucellosis
2.2 Penyakit Ternak
2.2.1 Penyakit Septicemia Epizootika (SE)
Penyakit Septicemia Epizootika (SE) disebut juga penyakit Ngorok, Septicemia Hemorrhagica, Hemorrhagic Septicemia, dan Barbone. Penyakit SE merupakan penyakit menular terutama menyerang sapi dan kerbau. Penyakit biasanya berjalan akut dengan angka kematian tinggi terutama pada penderita yang telah memperlihatkan tanda penyakit dengan jelas. Penyakit SE disebabkan oleh kuman Pasteurella multocida. Dimana Infeksi berlangsung melalui saluran pencernaan dan pernapasan. Cekaman pada ternak merupakan predisposisi untuk terjangkitnya penyakit. Sapi atau kerbau yang terlalu bayak dipekerjakan, pemberian pakan yang berkualitas rendah, kandang yang penuh dan berdesakan, kondisi pengangkutan yang melelahkan, kedinginan dan keadaan anemia dapat memicu terjadinya infeksi.
Program pemberantasan penyakit SE di NTT sudah dimulai sejak tahun 1984/1985 yaitu di Kabupaten Sumba Timur, namun tidak jelas kelanjutannya, sehingga pada tahun 2004 kembali dicanangkan program pemberantasan di Pulau Sumba dan ditargetkan dibebaskan pada tahun 2008. Tahun 2005-2007 di Kabupaten Sumba Timur masih dilaporkan terjadinya kasus SE sedangkan di Kabupaten Sumba Barat pada tahun 2007 sudah tidak ada kasus (Disnakpet, 2008)
Penyakit SE dilaporkan menyerang 272 ekor sapi yang menyebabkan kematian pada bulan Pebruari tahun 2006 di Kecamatan Miomafo Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara, dan sampai pertengahan bulan Pebruari kematian bertambah menjadi 500 ekor sapi, dengan populasi terancam mencapai 58.000 ekor di Kabupaten TTU. Pada tahun 2007 bulan April – Mei penyakit SE dilaporkan terjadi di Desa Pitay, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang; Desa Banuan dan Kelurahan Humusu A, Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara. Di Kecamatan Sulamu menyerang 14 ekor sapi yang menyebabkan kematian dengan populasi sapi terancam 800 ekor dan di Kecamatan Insana Utara menyebabkan 33 ekor sapi mati dengan populasi sapi terancam sebanyak 887 ekor (Disnakpet., 2008).
Pada tahun 2005, 488 ekor ternak sapi mati karena SE dengan rincian Kabupaten TTU sebesar 105 ekor, Rote Ndao 13 ekor, Alor 8 ekor, Ngada 165 ekor, Manggarai 2 ekor, Sumba Timur 176 ekor, dan Sumba Barat 19 ekor. Penyakit SE juga menyerang pada Kerbau dimana telah terjadi 265 kasus dengan rincian Kabupaten Rote/Ndao 11 ekor, Ngada 190 ekor, Manggarai 10 ekor, Manggarai Barat 2 ekor dan Sumba Barat 52 ekor (Christie, 2007).

2.2.2 Penyakit Thelaziasis
Penyakit Thelaziasis adalah penyakit cacing mata yang menyerang ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing dan domba). Penyakit Thelaziasis dapat dijumpai
sepanjang tahun, tetapi kasus penyakit ini terbanyak dijumpai pada musim
hujan, khususnya pada awal musim hujan, dimana lalat rumah jumlahnya
melipat. Kerugian akibat penyakit cacing mata antara lain: adanya gangguan pertumbuhan badan, penurunan berat badan dan yang lebih fatal adalah kebutaan yang akhirnya bisa berakibat kematian pada ternak.

2.2.3 Scabies
Penyakit Scabies adalah penyakit pada ternak yang dikenal oleh masyarakat petani peternak disebut Kudis. Penyakit Scabies bersifat zoonosa, artinya dapat menular kepada manusia. Ternak yang terserang penyakit ini akan mengalami penurunan kondisi terutama berat badan, penurunan kualitas daging/ karkas, kerusakan dan
penurunan nilai kulit. Penyakit ini disebabkan oleh sejenis tungau, pada sapi disebabkan oleh Chorioptes bovis.

2.2.4 Blaot
Bloat/kembung perut merupakan bentuk penyakit/kelainan alat pencernaan yang bersifat akut, yang disertai penimbunan gas di dalam lambung ternak ruminansia. Penyakit kembung perut pada sapi lebih banyak terjadi pada sapi perah dibandingkan dengan sapi pedaging atau sapi pekerja. Bloat/ kembung perut dapat disebabkan oleh 2 faktor yaitu:
a.Faktor makanan/ pakan:
• Pemberian hijauan Leguminosa yang berlebihan.
• Tanaman/ hijauan yang terlalu muda.
• Biji bijian yang digiling sampai halus.
• Imbangan antara pakan hijauan dan konsentrat yang tidak seimbang (konsentrat lebih banyak).
• Hijauan yang terlalu banyak dipupuk dengan Urea.
• Hijauan yang dipanen sebelum berbunga (terlalu muda) atau sesudah turunnya hujan terutama pada daerah yang sebelumnya kekurangan air.
• Makanan yang rusak/ busuk/ berjamur.
• Rumput/ hijauan yang terkena embun atau terkena air hujan.


b. Faktor ternak itu sendiri
• Faktor keturunan.
• Tingkat kepekaan dari masing masing ternak.
• Ternak bunting yang kondisinya menurun.
• Ternak yang sedang sakit atau dalam proses penyembuhan.
• Ternak yang kurang darah (anemia).
• Kelemahan tubuh secara umum.
2.2.5 Traumatis
Traumatik pada sapi disebabkan karena adanya kecelakaan selama di padang pengembalaan sehingga menyebabkan terjadinya luka dan patah tulang. Selain itu proses pengangkutan ternak juga bisa menyebabkan trauma pada tubuh ternak.
2.2.6 Brucellosis
Brucellosis merupakan penyakit menular yang menyerang beberapa jenis hewan Terutama sapi serta dapat juga menyerang manusia. Penyakit ini dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar akibat terjadinya keguguran (keluron). Pada sapi, keluron biasanya terjadi pada kebuntingan berumur 7 bulan. Anak yang dilahirkan lemah kemudian mati. Dapat terjadi gangguan alat alat reproduksi, sehingga hewan menjadi mandul (majir) temporer atau permanen. Penyebab penyakit ini adalah bakteri/ kuman Brucella. Beberapa spesies yang sering menimbulkan masalah bagi ternak ruminansia adalah Brucella melitensis yang menyerang
kambing dan Brucella abortus yang menyerang sapi. Infeksi terjadi melalui saluran makanan, saluran kelamin, selaput lendir atau kulit yang luka. Penularan juga dapat melalui inseminasi buatan (IB) akibat penggunaan semen yang tercemar oleh kuman Brucella. Brucella melitensis dapat menginfeksi sapi sewaktu digembalakan pada padang penggembalaan bersama sama dengan domba/ kambing yang terinfeksi.
Prevalensi reaktor brucellosis pada sapi potong pada peternakan tradisional bervariasi. Di daerah endemik, di beberapa desa di Kabupaten TTU dan Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), prevalensinya dapat mencapai 45%. Sedangkan di Kabupaten TTS dan Kupang yang bertetangga dengan kedua kabupaten tersebut, prevalensinya masih rendah yaitu berturut-turut 0,09% dan 0,15%. Perbedaan ini diduga berkaitan dengan perniagaan ternak; Kabupaten TTS merupakan gudang ternak sehingga kebanyakan sapi dikeluarkan dari kabupaten ini (Rompis, 2002).
Brucellosis pertama kali didiagnosis pada tahun 1986, yaitu di Pulau Timor. Selanjutnya, reaktor brucellosis ditemukan di Pulau Sumba tahun 1992 dan di Pulau Flores tahun 1994. Dari perkembangan penyakit akhir-akhir ini, kejadian brucellosis cenderung semakin meningkat baik jumlah maupun luas penyebarannya (Rompis, 2002). Pada tahun 1986, prevalensi brucellosis di Propinsi NTT (Kabupaten Belu dan TTU) masih di bawah 1%, namun 10 tahun kemudian prevalensinya menjadi sekitar 4%; dengan pertumbuhan sekitar 4% per 10 tahun.















BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Penyakit SE
Penyakit Septicemia Epizootika (SE) merupakan penyakit endemik di kecamatan Takari, dimana setiap tahun penyakit ini selalu muncul. Pada tahun 2008 penyakit SE menyerang 266 ekor dan 120 ekor diantaranya mati (Puskeswan Takari, 2009). Tingginya angka kematian akibat infeksi SE yang mencapai 45% disebabkan karena terlambatnya penanganan karena sistem pengembalaan yang ekstensif menyebabkan kurangnya perhatian peternak pada ternaknya.
Penyakit SE disebabkan karena infeksi bakteri Pasteurella multocida, dimana ternak akan mengalami gejala klinis seperti (1) Kondisi tubuh lesu dan lemah, (2) Suhu tubuh meningkat dengan cepat diatas 41 ยบ C, (3) Tubuh gemetar, mata sayu dan berair, (4) Selaput lendir mata hiperemik, (5) Nafsu makan, memamah biak, gerak rumen dan usus menurun sampai hilang disertai konstipasi, (6) Pada bentuk busung, terjadi busung pada kepala, tenggorokan, leher bagian bawah, gelambir dan kadang kadang pada kaki muka. Derajad kematian bentuk ini dapat mencapai 90 % dan berlangsung cepat (3 hari – 1 minggu). Sebelum mati, hewan terlihat mengalami gangguan pernapasan, sesak napas (dyspneu), suara ngorok dengan gigi gemeretak. (7) Pada bentuk pektoral, tanda tanda brhoncopnemoni lebih menonjol. Mula mula bentuk kering dan nyeri diikuti keluarnya ingus, pernapasan cepat dan susah. Pada bentuk ini proses penyakit berlangsung lebih lama (1 – 3 minggu), (8) Penyakit yang berjalan kronis, hewan menjadi kurus dan sering batuk, nafsu makan terganggu dan terus menerus mengeluarkan air mata, suhu badan normal tetapi terjadi mencret bercampur darah (Anon., 2001)
Upaya pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi menggunakan vaksin Septivet. Vaksinasi hanya bisa dilakukan terhadap ternak yang sehat dengan vaksin oil adjuvant. Sedikitnya setahun sekali dengan dosis 3 ml secara intramuskuler. Vaksinasi dilakukan pada saat musim pancaroba. Ternak sapi yang sudah terinfeksi dan menunjukan gejala klinis, pada tahapan tertentu masih bisa dilakukan pengobatan dengan menggunakan antibiotika sebagai berikut : 1) Oxytetracycline dengan dosis 50 mg/10 Kg BB, 2) Streptomycin dengan dosis 5 –10 mg/Kg BB, dan 3) Sulphadimidine (Sulphamezathine) dengan dosis 2 gram/30 Kg BB. Ternak yang terserang penyakit SE dapat dipotong dan dagingnya dapat dikonsumsi dibawah pengawasan Dokter Hewan/ petugas kesehatan hewan. Jaringan yang terserang terutama paru paru dimusnahkan dengan dibakar atau dikubur. Semua pakan dan minuman yang tercemar harus
dimusnahkan dan wadahnya disucihamakan.

3.2 Thelaziasis ( Cacing Mata )
Penyakit Thelaziasis merupakan penyakit pada mata yang disebabkan oleh sejenis cacing Spirurida dari golongan Thelazia yaitu: Thelazia bulusa, Thelazia lacrimalis dan Thelazia alfortensis yang terdapat dipermukaan conjunctiva mata. Di kecamatan Takari penyakit ini pada tahun 2008 menyerang 152 ekor ternak sapi dimana 2 ekor diantaranya mati sedangkan 63 ekor mengalami kebutaan sementara (Puskeswan Takari, 2009). Thelaziasis terjadi sepanjang tahun, tetapi kasusnya cenderung meningkat pada awal musim penghujan.
Penyakit ini ditularkan dengan perantara lalat rumah (Musca domestica) melalui kaki kaki lalat tersebut yang mengenai air mata ternak yang menderita penyakit, kemudian ditularkan kepada ternak lainnya pada saat lalat hinggap didekat mata. Tanda-tanda klinis yang dapat terlihat adalah keluarnya air
mata, adanya cacing Thelazia sp seperti benang putih yang bergerak-gerak diatas permukaan bola mata pada saat kelopak mata ternak dibuka, Ternak terlihat seperti takut bila terkena cahaya/ sinar matahari (photophobia), dan apabila penyakit berlanjut
akan terjadi pembengkakan pada mata, luka pada cornea mata , kekeruhan (mata)
pada cornea mata dan akhirnya akan timbul kebutaan.
Upaya pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan menjaga Sanitasi dan kebersihan di sekitar ternak, Memberikan asap disekitar kandang untuk mengusir lalat rumah dan jenis lalat lainnya yang hinggap dimata ternak, dan apabila ada ternak yang sakit segera dipisah dengan yang sehat dan diobati sampai sembuh. Pengobatan bisa dilakukan dengan jalan mengambil cacing dengan pinset setelah mata dianasthesi secara lokal dengan menetesi mata menggunakan Procain HCL 2% dan dibiarkan selama 3-5 menit atau dengan menggunakan obat tetes mata seperti larutan Acidum Boricum 3% (Boorwater), larutan Diethyl tartrat 0,002 %, larutan Morantel tartrat 4 % dan Tetramisole 2 – 3 tetes pada mata. Ternak yang sakit dagingnya bisa dikonsumsi.
3.3 Scabies
Penyakit Scabies adalah penyakit pada ternak yang dikenal oleh masyarakat petani peternak disebut Kudis. Penyakit Scabies bersifat zoonosa, artinya dapat menular kepada manusia. Ternak yang terserang penyakit ini akan mengalami penurunan kondisi terutama berat badan, penurunan kualitas daging/ karkas, kerusakan dan penurunan nilai kulit. Di kecamatan Takari angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, dimana pada tahun 2008 mencapai 121 ekor tetapi tidak menimbulkan kematian ternak Puskeswan Takari, 2009).
Penyakit ini disebabkan oleh sejenis tungau, yaitu Chorioptes bovis. Penularan penyakit ini terjadi bila kontak langsung antara ternak sakit dengan ternak sehat, atau melalui peralatan kandang yang tercemar oleh penyakit. Tanda tanda penyakit ini yaitu
gatal-gatal hebat yang ditandai dengan menggosok-gosokkan tubuh pada dinding kandang atau batang pohon serta menggigit gigit bagian tubuh yang terserang penyakit (moncong, telinga, leher, dada, perut, pangkal ekor dan sepanjang punggung serta kaki). Akibat gosokan dan gigitan sehingga terjadi luka-luka dan lecet. Pada penyakit yang agak lanjut, kulit mengeras dan menebal serta melipat-lipat sehingga pada tempat tersebut bulunya lepas dan kelihatan gundul.
Upaya pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan Sanitasi/ kebersihan kandang dan pemberian makanan yang bergizi, Ternak yang sakit dipisahkan dari yang sehat dan diobati sampai sembuh. Pengobatan yang bisa dilakukan adalah mengolesi kulit yang luka dengan Benzoas Bensilikus 10 %, Disemprot/ direndam dengan BHC 0,05 % atau Coumaphos 0,05 sampai 1 %, injeksi Ivermectin (Ivomec), diberikan secara subcutan, Salep Coumaphos 1 – 2 % (dalam vaselin) dan salep belerang 5 % (5 gram bubuk belerang + 100 gram vaselin). Ternak yang menderita penyakit diperbolehkan dipotong dan dagingnya dapat dikonsumsi sepanjang mutunya/ kualitasnya masih baik dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga dalam pemotongannya harus dalam pengawasan dokter hewan. Kulit yang mengandung tungau/ penyakit harus segera dimusnahkan.

3.4 Bloat
Bloat/ kembung perut merupakan bentuk penyakit/ kelainan alat pencernaan yang bersifat akut, yang disertai penimbunan gas di dalam lambung ternak ruminansia. Di kecamatan Takari, kejadian bloat pada ternak sapi tahun 2008 sebanyak 99 ekor, dimana 3 ekor diantaranya mati (Puskeswan Takari, 2009). Tanda-tanda penyakit ini yaitu 1) Terjadinya pembesaran perut sebelah kiri yang tampak menonjol keluar dan berisi gas, 2) Ternak gelisah, sebentar berbaring lalu segera bangun, 3) Ternak mengerang, 4) Nafsu makan turun bahkan tidak mau makan, 5) Ternak bernapas dengan mulutnya, dan 6) Pada saat berbaring, ternak menjulurkan lehernya untuk membebaskan angin/ gas dari perut.

Upaya pencegahan yang bisa dilakukan yaitu 1) Tidak menggembalakan/ melepas ternak terlalu pagi, karena rumput masih mengandung embun, 2) Ternak jangan terlalu lapar, 3) Hijauan yang akan diberikan hendaknya dilayukan terlebih dahulu, 4) Jangan memberikan makanan yang sudah rusak/ busuk/ berjamur. 5) Menghindari leguminosa yang terlalu banyak dalam ransum. Tindakan pengobatan bisa dilakukan dengan memberikan Anti Bloat (bahan aktif: Dimethicone), dengan dosis sapi100 ml obat diencerkan dengan 500 ml air, kemudian diminumkan atau dengan Wonder Athympanicum, dengan dosis 20 – 50 gram, yang dicampur air secukupnya,
kemudian diminumkan. Ternak yang menderita penyakit ini dagingnya dapat dikonsumsi.

3.5 Traumatis
Kejadian trauma pada sapi di Kecamatan Takari pada tahun 2008 sebanyak 84 ekor, dengan 4 ekor diantaranya mengalami patah tulang (Puskeswan Takari, 2009). Trauma ini disebabkan karena kecelakaan pada saat berada dipadang pengembalaan. Belum ada upaya pencegahan yang efektif, sehingga ternak yang mengalami trauma hanya dilakukan pengobatan dengan memberikan suntikan antibiotik dan desinfektan pada luka luarnya.
3.6 Brucellosis
Penyakit Brucellosis merupakan penyakit bakterial yang disebabkan oleh kuman Brucella abortus.Infeksi terjadi melalui saluran makanan, saluran kelamin, selaput lendir atau kulit yang luka. Penularan juga dapat melalui inseminasi buatan (IB) akibat penggunaan semen yang tercemar oleh kuman Brucella. Kejadian penyakit ini dikecamatan Takari pada tahun 2008 sebanyak 38 ekor (Puskeswan Takari, 2009).
Menurut Anon. (2001) tanda tanda yang ditemukan pada penderita adalah sebagai berikut:
1. Terjadi keguguran/ keluron pada kebuntingan 5 – 8 bulan.
2. Sapi mengalami keguguran/ keluron 1 sampai 3 kali, kemudian kelahiran normal dan kelihatan sehat.
3. Kemajiran/ kemandulan temporer atau permanen.
4. Pada sapi perah terjadi penurunan produksi susu.
5. Cairan janin yang keluar kelihatan keruh.
6. Pada hewan jantan terjadi peradangan pada buah pelir dan saluran sperma.
7. Kadang kadang ditemukan kebengkakan pada persendian lutut.
Upaya pencegahan bisa dilakukan dengan melokalisir daerah yang terinfeksi dan tidak menggabungkan ternak yang sehat dengan ternak yang sakit. Untuk ternak yang positif terinfeksi segera dilakukan culling/eradikasi sehingga tidak menularkan ke ternak yang lain. Sampai saat ini belum ada obat yang efektif untuk mengatasi penyakit ini.

















BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN


4.1 Simpulan
Penyakit ternak sapi di kecamatan Takari terdiri dari penyakit Septicemia Epizootika (SE) sebesar 35% atau 266 ekor dengan 120 ekor diantaranya mati, penyakit Thelaziasis sebesar 20% atau 152 ekor dengan 2 ekor mati dan 63 ekor mengalami kebutaan, penyakit Scabies sebesar 16% atau 121 ekor, penyakit Bloat sebesar 13% atau 99 ekor dengan 3 ekor diantaranya mati, Traumatis sebesar 11% atau 84 ekor dan sisanya penyakit Brucellosis sebanyak 38 ekor.
4.2 Saran
Masih tingginya angka serangan penyakit di kecamatan Takari yang masih mencapai 5,1% maka perlu adanya peningkatan proses pelayanan kesehatan ternak dengan optimalisasi peran Puskeswan.











Daftar Pustaka


Anonim. 2001, Brosur Nomor: 03/Brosur/ARMP NTB/2001,Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB, Mataram

Bamualim, A. B., R. B. Wirdahayati and A. Saleh. 1990. Bali cattle production from Timor island. Research report, BPTP, Lili, Kupang.
Bamualim, A.B, 1992, Sistem Peternakan Lahan Kering, Kumpulan Bahan Kuliah, Undana, Kupang

Christie, B.M. 2007. A review of animal health research opportunities in Nusa Tenggara Timur and Nusa Tenggara Barat provinces, eastern Indonesia. Canberra, ACIAR Technical Reports No. 65.
Dinas Peternakan Propinsi NTT, 2010 , Renstra Dinas Peternakan, Kupang

Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Laporan Tahunan. Jakarta

Disnakpet, 2008, Statistik Peternakan, Kupang

Fattah, S., 1998, The Produktivity of Bali Cattle Maintained in Natural Grassland: a Case of Oesusu, East Nusa Tenggara, PhD Thesis, Universitas Padjajaran, bandung

Jelantik, I.G.N, M.L.Mullik, R.R.Copland, 2009,Cara Praktis Menurunkan Angka Kematian dan Meningkatkan Pertumbuhan Pedet sapi Bali Melalui Pemberian Pakan Suplemen. Undana Press. Kupang

Jelantik, I.G.N., 2001, Improving Bali Cattle Production Through Protein Suplementation. PhD Thesis. The Royal Veterinary and Agricultural University, Copenhage, denmark.

Malessy, C.J., 1990, Kebijakan Pembangunan Peternakan di Nusa Tenggara Timur. Temu ugas dan temu lapang penelitian dan pengembangan peternakan propinsi NTT, NTB dan Timor Timur.

Mullik, M.L. dkk, 2007. Mutu Genetik Sapi Timor di Nusa Tenggara Timur. Kupang

Puskeswan Takari. 2009. Laporan Tahunan. Kupang.

Rompis, A. 2002. Epidemiologi Bovine Brucellosis dengan Penekanan pada Kejadian di Indonesia. Jurnal Veteriner Vol. 3 No. 4 Desember 2002.
Siregar, 2006, Beternak Sapi Bali, Kanisius, Jakarta

Suharyo, B. Aryana, dan R. Leka. 2007. Lembaga Penelitian SMERU. Kupang

Suryana, Ahmad. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Pangan Peternakan Bermutu, Aman Dan Halal. Balitbang Deptan. Jakarta

Wirdahayati,R.B., 2004, Reproductive Characteristic And Productivity of Bali and Ongole Cattle in Nusa Tenggara, PhD Thesis, Queensland University, Australia

dampak limbah peternakan ayam terhadap kesehatan ternak

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Berbagai lapisan masyarakat Indonesia sangat membutuhkan pangan hewani guna mendapatkan generasi bangsa yang sehat dan cerdas. Apresiasi masyarakat terhadap pangan asal ternak cukup tinggi, walaupun secara umum masyarakat Indonesia baru dapat memenuhi 69,8% dari kebutuhan protein hewani (Suryana, 2007). Salah satu sumber protein asal hewani adalah daging ayam, sehingga peternakan ayam di Indonesia tumbuh dengan pesat seiring meningkatnya permintaan pasar akan daging ayam tersebut. Populasi ayam di Indonesia pada tahun 2009 adalah 110,106,248 ekor untuk aya petelur, 261.398.127 ekor untuk ayam kampung, dan 930.317.847 ekor untuk ayam ras broiler ( Ditjennak, 2010).
Meningkatnya populasi ternak ayam di Indonesia juga diikuti dengan meningkatnya persebaran penyakit, baik penyakit ayam klasik (ND, IBD, CRD dan Coryza) dan penyakit baru yaitu Flu burung (AI). Dalam kurung waktu 2 tahun yaitu antara tahun 2003-2005, flu burung telah menginfeksi 4,5 juta ekor unggas dan 3,2 juta diantaranya mati (Ditjennak, 2006). Besarnya tingkat morbiditas dan mortalitas dari flu burung tersebut diduga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan peternakan, dimana lingkungan yang kurang nyaman menyebabkan tingginya tingkat stress pada ayam (data pengaruh lingkungan terhadap kesehatan ternak belum ada). Salah satu penyebab tingginya tingkat stress pada ayam karena pengaruh lingkungan adalah limbah peternakan dimana limbah tersebut diduga berpengaruh terhadap kesehatan ternak ayam itu sendiri, sehingga diperlukan suatu kajian tentang dampak limbah terhadap kesehatan ternak.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dampak pencemaran limbah peternakan ayam terhadap kesehatan ternak.


1.3 Kegunaan
Kegunaan dari penulisan ini adalah diketahuinya dampak dari pencemaran limbah ayam terhadap kesehatan ternak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Peternakan Ayam
Usaha peternakan ayam akhir‑akhir ini mulai sering dituding sebagai usaha yang ikut mencemari lingkungan. Oleh karena itu, agar petemakan ayam tersebut merupakan suatu usaha yang berwawasan lingkungan dan efisien, maka tatalaksana pemeliharaan, perkandangan, dan penanganan limbahnya harus selalu diperhatikan. Limbah merupakan sejenis kotoran yang merupakan hasil pembuangan atau hasil ikutan dari peternakan ayam. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertanian telah menyadari hal tersebut dengan mengeluarkan peraturan menteri melalui SK Mentan No. 237/1991 dan SK Mentan No. 752/1994, yang menyatakan bahwa usaha peternakan dengan populasi tertentu perlu dilengkapi dengan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Untuk usaha peternakan ayam ras pedaging, yaitu populasi lebih dari 15.000 ekor per siklus terletak dalam satu lokasi, sedangkan untuk ayam petelur, populasi lebih dari 10.000 ekor induk terletak dalam satu hamparan lokasi (Deptan, 1991; 1994).
2.1.1 Limbah Padat
Pemeliharaan ayam petelur biasanya dilakukan dengan sistem baterai, yakni sejumlah ayam dipelihara dalam kandang‑kandang terpisah dan ditempatkan agak tinggi dari permukaan tanah, dengan dasar kandang berlubang‑lubang sehingga kotoran akan jatuh dan bertumpuk di bawah kandang di atas tanah. Untuk pemeliharan ayam pedaging biasanya dengan sistem litter, yakni ayam‑ayam dipelihara dalam kandang dengan batas yang disekat‑sekat dan lantai kandang adalah tanah atau beton yang dilapisi dengan sekam. Jumlah kotoran ayam dewasa yang dikeluarkan setiap harinya rata‑rata per ekor ayam 0, 15 kg (Rangga Tabu dan Hariono, 1991). Fontenot et al. (1983) melaporkan bahwa rata-rata produksi buangan segar ternak ayam petelur dewasa adalah 0,06 kg/hari/ekor, dan kandungan bahan kering sebanyak 26%, sedangkan dari pemeliharaan ayam pedaging dewasa kotoran yang dikeluarkan sebanyak 0,1 kg/hari/ekor, dan kandungan bahan keringnya 25%. Kotoran ayam terdiri dari sisa pakan dan serat selulosa yang tidak dicerna. Kotoran ayam mengandung protein, karbohidrat, lemak dan senyawa organik lainnya. Protein pada kotoran ayam merupakan sumber nitrogen selain ada pula bentuk nitrogen anorganik lainnya. Komposisi kotoran ayam sangat bervariasi bergantung pada jenis ayam, umur, keadaan individu ayam, dan makanan (Foot et al., 1976).
Tabel 1. Komposisi rata‑rata kotoran ayam pedaging dewasa berdasarkan bobot basah.
Nama Unsur Kandungan unsur dalam kotoran/bobot basah
Minimum Maksimum Rata-rata
Total padatan (%) 38,00 92,00 75,80
Total N (%) 0,89 5,80 2,94
NH4‑N (%) 0,08 1,48 0,75
P205 (%) 1,09 6,14 3,22
K20 (%) 0,63 4,26 2,03
Ca (Kalsium)(ppm) 0,51 6,22 1,79
Mg (Magnesium)(ppm) 0,12 1,37 0,52
Sulfida (ppm) 0,07 1,05 0,52
Mn (Mangan)(ppm) 66,00 579,00 266,00
Zn (Seng) (ppm) 48,00 583,00 256,00
Cu (Tembaga)(ppm) 16,00 634,00 283,00
Sumber: Malone (1992)
Sumber pencemaran usaha peternakan ayam berasal dari kotoran ayam yang berkaitan dengan unsur nitrogen dan sulfida yang terkandung dalam kotoran tersebut. Pada saat penumpukan kotoran atau penyimpanan terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganisme yang membentuk gas amonia, nitrat, dan nitrit serta gas sulfida. Gas‑gas tersebutlah yang menyebabkan bau (Svensson, 1990; Pauzenga, 1991). Kandungan gas amonia yang tinggi dalam kotoran juga menunjukkan kemungkinan kurang sempurnanya proses pencernaan atau protein berlebihan dalam pakan ternak, sehingga tidak semua nitrogen diabsorbsi, tetapi dikeluarkan sebagai amonia dalam kotoran (Pauzenga, 1991).
2.1.2 Limbah Cair
Air buangan berasal dari cucian tempat pakan dan minum ayam serta keperluan domestik lainnya. Jumlah air buangan ini sedikit dan biasanya terserap ke dalam tanah serta tidak berpengaruh besar terhadap lingkungan sekitar. Biological Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis (KOB) menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan organik dalam air. Oleh karena itu, nilai BOD bukanlah merupakan nilai yang menujukkan jumlah atau kadar bahan organik dalam air, tetapi mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi atau menguraikan bahan-bahan organik tersebut. BOD tinggi menunjukkan bahwa jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi bahan organik dalam air tersebut tinggi, berarti dalam air sudah terjadi defisit oksigen. Banyaknya mikroorganisme yang tumbuh dalam air disebabkan banyaknya makanan yang tersedia (bahan organik), oleh karena itu secara tidak langsung BOD selalu dikaitkan dengan kadar bahan organik dalam air.
BOD5 merupakan penentuan kadar BOD baku yaitu pengukuran jumlah oksigen yang dihabiskan dalam waktu lima hari oleh mikroorganisme pengurai secara aerobik dalam suatu volume air pada suhu 20 derajat Celcius. BOD5 500mg/liter (atau ppm) berarti 500 mgram oksigen akan dihabiskan oleh mikroorganisme dalam satu liter contoh air selama waktu lima hari pada suhu 20 derajat Celcius. Beberapa dasar yang sering digunakan untuk menentukan kualitas air dilihat dari kadar BOD adalah Erat kaitannya dengan BOD adalah COD. Dalam bahan buangan, tidak semua bahan kimia organik dapat diuraikan oleh mikroorganisme secara cepat. Uji COD ini meliputi semua bahan organik di atas, baik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme maupun yang tidak dapat diuraikan. Oleh karena itu, hasil uji COD akan lebih tinggi dari hasil uji BOD. Air buangan mempunyai pH netral (pH=7), kandungan senyawa organik rendah yang ditunjukkan dengan nilai Bio Oxygen Demand (BOD) 15,32‑68,8 dan Chemical Oxygen Demand (COD) 35,12–92. Sebagai gambaran, kualitas air buangan dari usaha. peternakan ayam pedaging di daerah Ciparay, Kabupaten Bandung (Jawa Barat) dan nilai rata‑rata dari dua peternakan ayam petelur di daerah Kecamatan Kanirogo, kabupaten Blitar (Jawa Timur) dapat dilihat pada Tabel 1 (Balitvet (1993) dalam Fauziah, 2009).
Tabel 2. Gambaran kualitas air buangan usaha peternakan ayam ras
Parameter Ayam Ras Pedaging Ayam Ras Petelur
Ph 7,44 7,70
BOD (Bio Oxygen Demand) (Mg/l) 6,80 15,39
COD (Chemical Oxygen Demand)(Mg/l) 92,12 35,12
Total Padatan (mg/1) 420 440
Pb (timah hitam) (mg/1) 0,05 0,019
Fosfor (mg/l) 6,75 7,66
Total coli 15 >2400
Sumber : Balivet (1993) dalam Fauziah, 2009
2.1.3 Limbah Gas
Dampak dari usaha peternakan ayam terhadap lingkungan sekitar terutama adalah berupa bau yang dikeluarkan selama proses dekomposisi kotoran ayam. Bau tersebut berasal dari kandungan gas amonia yang tinggi dan gas hidrogen sulfida , (H2S), dimetil sulfida, karbon disulfida, dan merkaptan. Senyawa yang menimbulkan bau ini dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang masih basah. Senyawa tersebut tercium dengan mudah walau dalam konsentrasi yang sangat kecil. Akan tetapi, kepekaan terhadap bau ini sangat tidak mutlak, terlebih lagi bau yang disebabkan oleh campuran gas. Pada konsentrasi amonia yang lebih tinggi di udara dapat menyebabkan iritasi mata dan gangguan saluran penapasan pada ternak itu sendiri (Rangga Tabu dan Hariono, 1991). Bau kotoran ayam selain berdampak negatif terhadap kesehatan ternak juga menyebabkan menurunnya produktivitas ternak.
2.2 Kesehatan Ternak dan Upaya Mencegah Dampak Limbah
Kesehatan ternak merupakan faktor penentu keberhasilan beternak setelah pakan, sehingga diperlukan suatu pengelolaan yang tepat agar ternak senantiasa dalam keadaan sehat. Ciri-ciri ayam yang sehat adalah matanya bening, kepala dan badannya tegak, lincah bergerak. Apabila ayam matanya tertutup, kepalanya tertunduk dan hampir selalu terduduk maka ayam tersebut dalam keadaan sakit. Ayam yang sakit biasanya disebabkan oleh 2 faktor yaitu mikroorganisme dan lingkungan. Mikroorganisme penyebab penyakit pada ayam adalah bakteri, virus, parasit dan protozoa. Sedangkan lingkungan yang mempengaruhi kesehatan ternak adalah temperatur dan kelembaban, pola pemeliharaan dan makanan (Rasyaf, 2001). Pola pemeliharaan ternak yang tidak maksimal terutama dalam pengelolaan limbahnya dapat memicu munculnya masalah kesehatan ternak seperti stress, gangguan saluran pernapasan, dan gangguan saluran pencernaan.
Penanganan dampak limbah dapat dilakukan dengan berbagai cara, untuk limbah padat dan cair dapat dilakukan dengan desinfeksi sedangkan untuk limbah gas dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan membubuhkan sesuatu senyawa pada pakan sebagai imbuhan dengan tujuan meningkatkan efisiensi pakan, sehingga mengurangi sisa protein yang tidak tercerna dan diharapkan dapat mengurangi terbentuknya gas yang berbau dalam proses penumpukan kotoran. Pengelolaan dapat pula dilakukan terhadap kotoran yang dihasilkan dengan menambahkan suatu senyawa yang dapat mengurangi bau.
Penambahan senyawa dalam pakan dapat berupa probiotik starbio dan EM4. Probiotik starbio adalah mikroba pengurai protein (proteolitik), serat kasar (sellulitik), lignin (lignolitik), dan nitrogen fiksasi non simbiotik, yang berasal dari lambung sapi dan dikemas dalam campuran tanah, akar rumput dan daun‑daun atau ranting yang dibusukan (Suharto, dan Winantuningsih, 1993). EM4 adalah biakan campuran mikroorganisme tanah yang telah dikemas dalam bentuk cairan dan bentuk serbuk. Mikroorganisme tersebut mempunyai aktivitas mempercepat proses dekomposisi kotoran secara biologis, sehingga bau dapat berkurang (HCNFS, 1995).
Penambahan senyawa pada kotoran ternak dapat dilakukan dengan menambahkan zeolit dan kapur. Zeolit merupakan mineral galian tambang dan mudah diperoleh di Indonesia, yang dapat digunakan untuk mengurangi pencemaran gas amonia dan FeS pada kotoran ayam. Zeolit merupakan mineral yang terdiri atas kristal alumino silikat terhidrasi yang mengandung kation. Zeolit mempunyai struktur berongga dengan ukuran pori tertentu yang dapat berisi air atau ion yang dapat dipertukarkan dengan ion‑ion lain tanpa merusak struktur zeolit dan dapat menyerap air secara reversible. Zeolit diketahui mampu menyerap molekul‑molekul lain dan mampu menyerap gas‑gas C02, dan H2S (Sutarti dan Rachmawati, 1994). Kapur telah banyak digunakan dalam bidang lingkungan, terutama dalam proses pengolahan air sebagai penurun kesadahan, menetralkan keasaman, menurunkan kadar silikat dan bahan‑bahan organik, proses pengolahan bahan buangan biji besi dan pengolahan limbah tekstil untuk mengurangi warna. Pada petemakan ayam, kapur dapat digunakan untuk membersihkan lantai kandang, mengeringkan, dan mengurangi bau dari kotoran ayam. Komposisi utama dari bantuan kapur yang dipakai adalah CaCO3 dan MgCO3. Kapur yang tersedia di pasaran biasanya sudah mengalami proses kalsinasi dengan pemanasan, sehingga, berada dalam bentuk CaO, dan MgO.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Limbah Padat dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Ternak
Limbah padat berupa feses dan litter merupakan tempat yang optimal bagi berkembangnya larva beberapa parasit cacing, dimana keberadaan lalat rumah (Musca domestika) akan mempercepat siklus penyebarannya. Cacing Cestoda yang sering hidup pada ayam yaitu Raillietina spp. Infeksi Cestoda memiliki tingkat penyebaran lebih luas daripada infeksi oleh Nematoda dan Trematoda. Pada usus ayam buras rata-rata ditemukan 132,27 ekor cacing dimana 47,2 ekor diantaranya adalah cacing Cestoda Raillietina spp., sedangkan sisanya adalah cacing Nematoda dan Trematoda (tidak dibahas karena tidak terlalu menimbulkan gangguan kesehatan). Cacing Raillietina spp tergolong dalam phylum Platyhelmintes, Class Cestoidea, Sub Class Cestoda, Ordo Cyclophyllidea, Famili Davaineidea, Genus Railietina dan Spesies Raillietina spp.
Gejala klinis akibat cacing Cestoda pada ayam dipengaruhi antara lain oleh status pakan atau keadaan gizi ternak, jumlah infeksi dan umur ayam. Pada beberapa jenis infeksi, gejala umum pada ayam muda biasanya ditunjukkan oleh adanya penurunan bobot badan, hilangnya nafsu makan, kekerdilan, diare dan anemia. Penurunan produksi telur dan kesehatan secara umum juga merupakan gejala umum akibat infeksi cacing Cestoda. Cacing Cestoda dalam jumlah besar akan banyak mengambil sari makanan dari tubuh inangnya sehingga tidak jarang menyebabkan hypoglicemia dan hypoproteinemia selain itu juga menyebabkan degenerasi dan inflamasi villi selaput lendir usus yang menjadi tempat menempelnya ujung kait rostellum dan dalam keadaan infeksi berat dapat menyebabkan kekerdilan. Cacing Cestoda ini paling umum didapati pada ayam dengan kerusakan berupa enteritis haemorhagia. Cacing ini menyebabkan degenerasi dan peradangan pada vili-villi selaput lendir usus. Untuk mencegah berkembangnya larva cacing ini maka litter diganti setiap periode pemeliharaan atau minimal 3 bulan sekali dan juga mencegah berkembangnya lalat rumah dengan memasang lem perekat atau listrik penyengat. Ternak yang sudah terinfeksi larva cacing cestoda harus segera diobati. Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian obat cacing terutama Mebendazol, Tiabendazol, Albendazol, Piperazin, Dietilkarbamazin, dan Pirantel

3.2 Limbah Cair dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Ternak
Salah satu kandungan limbah cair adalah Eschericia colli, dimana bakteri ini dalam jumlah berlebih dapat menyebabkan penyakit Kolibasilosis. Penyakit ini sering dijumpai bahkan seolah-olah telah menjadi penyakit “wajib” pada peternakan ayam. Kejadian penyakit ini umumnya berkaitan langsung dengan pemilihan lokasi dan lingkungan peternakan terutama kebersihan. Kolibasilosis berhubungan langsung dengan sumber air minum di lapangan, karena keberadaan bakteri Escherichia colli penyebab Kolibasilosis di air dan tanah merupakan flora normal, sehingga tak heran jika hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sampel air di lokasi peternakan hampir semua menunjukkan positif bakteri E. colli.
Bakteri E. colli mudah mencemari lingkungan kandang. Apalagi pada saat musim penghujan, dimana air hujan yang mengalir bersama tanah dan feses yang mengandung bakteri E. colli akan mencemari air sumur atau air tanah. E. colli tahan lama di lingkungan, setelah keluar dari inang (tubuh ayam), bakteri ini dapat bertahan tanpa "nutrisi" selama 20-30 hari, sehingga dapat menginfeksi ayam lain. Selain itu, bakteri ini juga mudah mengalami mutasi menjadi entero pathogenic E. colli (EPEC), yaitu menjadi bakteri patogen di saluran pencernaan. Selain itu, juga bermutasi menjadi entero toxigenic E. coli (ETEC), yaitu bakteri yang menghasilkan racun dan kemudian merusak mukosa usus.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, kebiasaan peternak menggunakan sumur dangkal sebagai sumber air minum untuk ternaknya merupakan penyebab utama Kolibasilosis selalu muncul. Sebabnya, sumur dangkal tersebut rawan tercemari oleh kuman E. colli terutama yang letaknya dekat dengan pembuangan limbah peternakan. Infeksi kuman colli diperparah bila air dari sumur tersebut tidak disanitasi. Gangguan yang bisa ditimbulkan oleh Kolibasilosis ini diantaranya adalah gangguan pertumbuhan dan produksi telur, juga merupakan pendukung timbulnya penyakit lain pada saluran pernapasan, pencernaan dan reproduksi yang sulit ditanggulangi serta tingginya biaya pengobatan. Kolibasilosis juga dapat menular melalui telur tetas yang tercemar. Anak ayam yang menetas dari telur tercemar tersebut akan mempunyai banyak bakteri E. colli yang bersifat merugikan (patogen) di dalam usus dan feses. Feses mengandung bakteri E. colli yang dikeluarkan dari tubuh menjadi sumber penular utama.
Kolibasilosis dapat terjadi pada semua umur ayam. Batas maksimum kuman E. colli dalam air minum adalah 1 E.colli/100 ml. Pada anak ayam sampai umur 3 minggu, Kolibasilosis menyebabkan kematian dengan gejala omphalitis. Sedangkan pada ayam petelur, Kolibasilosis menyebabkan produksi telur menurun, puncak produksi telur tidak tercapai, masa produksi telur tertunda dan mudah terinfeksi penyakit lain. Ayam yang pernah terinfeksi E. colli dapat menjadi pembawa (carrier) sehingga penyakit ini mudah kambuh di kemudian hari. Sementara, pada broiler Kolibasilosis menyebabkan kematian yang terjadi selama periode pemeliharaan dan perolehan berat badan saat panen yang rendah. Bakteri E. colli banyak terdapat di usus bagian belakang dan dikeluarkan dari tubuh dalam jumlah besar bersama dengan feses. Di dalam feses, bakteri ini dapat bertahan sampai beberapa minggu, tetapi tidak tahan terhadap kondisi asam, kering dan desinfektan. Bakteri E. colli merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang, dapat bergerak dan tidak membentuk spora.
Bakteri E. colli bisa masuk melalui saluran pencernaan, biasanya E. coli menyerang usus yang telah mengalami luka karena cacing, jamur atau koksidiosis. Kerusakan dapat dilihat berupa peradangan, penebalan dinding usus, edema dan keluar lendir bercampur darah. Ayam mengalami diare sehingga kondisi fisiknya akan menurun sehingga memudahkan terjadi infeksi skunder dari mikroorganisme lain.. Kuman E. colli juga bisa masuk ke saluran reproduksi karena pencemaran dari feses. Di saluran reproduksi kuman E.colli menginfeksi telur dan menyebabkan kematian embrio atau telur pecah di saluran reproduksi sehingga ayam mati mendadak.
Ayam yang pernah terinfeksi Kolibasilosis sulit untuk sembuh sempurna. Kondisi stres dan daya tahan tubuh yang turun biasanya menjadi faktor pemicu munculnya kembali penyakit Kolibasilosis. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang diantaranya adalah Kolibasilosis merupakan penyakit ikutan, artinya mengikuti penyakit lain seperti chronic respiratory disease (CRD), dan Koksidiosis. Selain itu proses terjadinya penyakit juga cenderung lambat. Gejala klinis Kolibasilosis baru dapat terlihat jelas jika penyakit sudah berlangsung lama dan bersifat kronis. Tempat predileksi (kesukaan) bakteri E. colli yang terletak di kantung udara, di mana pembuluh darah di daerah kantung udara sedikit sekali menyebabkan pengobatan secara sistemik (melalui sirkulasi darah) kurang efektif karena antibiotik yang mencapai kantung udara sangat sedikit sehingga obat tidak dapat terdistribusi optimal ke organ sasaran.
Sebagai upaya pencegahan dan pengobatan bisa dilakukan dengan bermacam cara, diantaranya adalah:
1. Sanitasi dan desinfeksi kandang dan peralatannya.
Kandang dibersihkan, dicuci dan disemprot dengan desinfektan. Tempat minum dicuci setiap 2 kali sehari. Kemudian rendam tempat minum yang telah dicuci dalam desinfektan selama 30 menit, setiap 4 hari sekali. Dalam perencanaan tata ruang perkandangan, pembuatan saluran harus didesain sedemikian rupa sehingga air selokan tidak menggenang dan mengalir dengan lancar ke tempat penampungan akhir, dimana di tempat penampungan akhir ini dilakukan proses bakteriosidal dan refrigerasi sebelum air limbah dialirkan ke tempat pembuangan sehingga air limbah yang keluar tidak mengandung bibit penyakit lagi terutama bakteri E. colli.
2. Mencegah tamu, hewan liar, dan hewan peliharaan lain masuk ke lingkungan kandang.
3. Mencegah stres.
Usahakan menghindari stres pada ayam dengan cara tatalaksana pemeliharaan yang benar, populasi ayam jangan terlalu padat, ventilasi udara cukup, dan diusahakan agar kadar amonia kurang di dalam kandang. Karena saat stres, semua bibit penyakit dapat dengan mudah masuk ke tubuh ayam.
4. Sanitasi air minum.
Sanitasi sumber air minum untuk ayam dari pencemaran logam berat dan kuman patogen dengan melarutkan desinfektan yang aman dikonsumsi ayam. Program sanitasi air minum dilakukan 1-2 kali dalam 1 minggu asal tidak mendekati jadwal vaksinasi. Sanitasi air rninum bisa dilakukan dengan klorinasi dengan cara memasukkan 3-5 ppm klorin ke dalam air minum. Lebih dari dosis tersebut, malah dapat menurunkan konsumsi ransum, konsumsi air minum dan produksi telur karena mengubah aras dan bau.
Di peternakan, klorinasi dilakukan menggunakan kaporit karena kaporit mengandung zat aktif klorin. Jika menggunakan kaporit murni, maka untuk memperoleh kadar yang aman dalam air minum dibutuhkan 6-10 gram kaporit tiap 1000 liter. Namun, biasanya kaporit yang tersedia di pasaran adalah konsentrasi 50% sehingga dosis pemakaian menjadi dua kali dari kaporit murni, yaitu 12-20 gram tiap 1000 liter air.
Kaporit dapat mengubah rasa dan bau air sehingga dapat menurunkan konsumsi air dan ransum. Oleh sebab itu, air minum yang mengandung kaporit harus dibiarkan terlebih dahulu minimal selama 6 jam sebelum diberikan ke ayam. Kualitas air sangat menentukan kadar bakteri di dalamnya, untuk mengetahui apakah sumber air rninum bebas dari pencemaran logam berat atau kuman patogen dapat dilakukan pemeriksaan sampel air di laboratorium. Standar air minum yang sehat untuk ayam yaitu:
- tidak berwarna
- tidak berbau
- jernih
- tidak ada endapan pH = 6-9
- kesadahan < 20 mg/liter
- garam (NaCI) < 1000 ppm
- total bahan terlarut < 3000 mg/liter
- nitrat dan nitrit < 5 ppm
- logam beracun < 0,5 ppm total
- jumlah bakteri < 3000/ml
- Jumlah E. colli dan Salmonella sp. = 0 (tidak ada)
5. Tatalaksana litter
Cegah litter menjadi sangat kering dan berdebu dengan tidak memasang litter terlalu tebal (ketebalan litter cukup 7-12 cm saja). Program penggantian litter secara berkala, biasanya untuk ayam pedaging dilakukan 1 kali sampai masa panen. Litter yang basah jangan dibalik tapi ditambah yang baru.
6. Pengobatan
Ayam yang terserang penyakit saluran pernapasan segera diobati. Pengobatan dilakukan sedini mungkin dengan pertimbangan populasi bakteri E. colli masih relatif sedikit dan mencegah penyebaran bakteri E. colli yang lebih banyak. Pengobatan belum tentu bisa menyembuhkan penyakit colibacillosis secara tuntas jika bakteri E. Colli sudah banyak bersarang di tubuh ayam (sudah parah). Kandang panggung bisa digunakan sebagai alternatif mencegah penyakit Kolibasilosis yang selalu muncul. Pengobatan penyakit Kolibasilosis menggunakan antibiotik seperti penstrep, terramicin, dan sulfadion untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri E. colli. Untuk menghindari resistensi obat, jika pernah menggunakan satu jenis obat tertentu selama 3 periode pemeliharaan, sebaiknya periode pemeliharaan berikutnya menggunakan antibiotik dari golongan yang berbeda.
3.3 Limbah Gas dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Ternak
Limbah gas dari peternakan ayam dapat berupa gas amonia (NH3) yang tinggi, gas hidrogen sulfida (H2S), dimetil sulfida, karbon disulfida, dan merkaptan. Gas amonia (NH3), dengan diameter partikel yang sangat kecil, NH3 mudah terserap menjadi bagian partikel debu (particulate matter) bersama debu kandang lainnya baik yang berasal dari hewan dan pakan maupun ikutan debu seperti spora bakteri dan jamur, virus, endotoksin, dan gas berbahaya lainnya.
Tabel 3. Pengaruh gas amonia pada hewan
Kadar amonia (ppm) Gejala/Pengaruh yang ditimbulkan pada ternak

5 Kadar paling rendah yang tercium baunya
6 Mulai timbul iritasi pada mukosa mata dan saluran napas
11 Penurunan produktivitas ayam
25 Kadar maksimum yang dapat ditolerir selama 8 jam
35 Kadar maksimum yang dapat ditolefir selama 10 menit
40 Mulai menyebabkan hilangnya nafsu makan
50 Penurunan drastis produktivitas ayam dan juga terjadi pembengkakan bursa fabricious
>120 Pingsan dan mati
Sumber: Setiawan (1996)
Tabel 4. Pengaruh pemaparan gas hidrogen sulfida (H2S) pada ternak
Kadar gas H2S (ppm/jam) Pengaruh
10 Iritasi mata
20 Iritasi hidung, dan tenggorokan
50‑100 Diare
200 Pneumonia
500 per menit Pingsan
600 per menit Mati
Sumber: Pauzenga (1991)
Untuk mengetahui kadar limbah gas dalam kandang dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat pendeteksi kadar gas (microcontroler), tetapi jika alat tersebut tidak tersedia maka pendeteksian dapat dilakukan dengan menggunakan panca indra dan pengamatan tingkah laku ternak. Apabila kadar gas dalam kandang tinggi maka kandang akan terasa pengap dan berbau tajam serta sulit bernapas. Selain itu ternak terlihat sesak nafas dan berusaha mendekati ventilasi untuk menghirup udara dari luar kandang. Untuk mencegah dampak limbah gas terhadap ternak dapat dilakukan dengan penambahan Zeolit dan Kapur pada kotoran ayam serta penambahan mikroba pada pakan.
1. Penggunaan Zeolit
Percobaan penggunaan Zeolit pada skala laboratorium diketahui bahwa pemberian Zeolit secara langsung pada kotoran ayam ternyata lebih efektif dalam menekan pembentukan gas amonia dan H2S pada kotoran ayam tersebut. Zeolit dengan konsentrasi 10% yang ditambahkan pada kotoran ayam mampu mengurangi pembentukan gas‑gas tersebut secara nyata. Penggunaan Zeolit dengan konsentrasi 5% hanya mampu menekan gas H2S secara nyata, sedangkan pembentukan gas amonia juga berkurang namun tidak terlihat nyata (Murdiati et al., 1995).
Azhari dan Murdiati (1997) melaporkan hasil penelitiannya dengan menggunakan Zeolit yang dicampur dengan Morin yang ditaburkan pada kotoran ayam. Konsentrasi Zeolit yang lebih tinggi, yaitu 15% dan 30%, sedangkan konsentrasi Klorin yang digunakan adalah 1 000 ppm. Ternyata. penaburan Zeolit 30% pada kotoran. sangat efektif dalam mengurangi konsentrasi gas H2S selama 8 hari, sedangkan gas amonia berkurang drastis selama 10 hari. Penambahan Zeolit yang dikombinasikan dengan Klorin pada kotoran secara rata‑rata cenderung mengurangi konsentrasi gas‑gas tersebut menjadi semakin rendah dibandingkan dengan penambahan bahan‑bahan tersebut secara terpisah. Namun perlu dipikirkan lebih lanjut efek dari penggunaan Klorin ini terutama dalam hal konsentrasinya, karena dalam kotoran Klorin berfungsi membunuh mikroba‑mikroba pembusukan yang menghasilkan gas amonia. Keadaan ini mungkin tidak sesuai jika kotoran tersebut digunakan sebagai pupuk, karena Klorin dapat membunuh mikroba‑mikroba tanah yang dibutuhkan. Selain itu, perlu pula dihitung apakah cukup ekonomis penggunaan Zeolit yang relatif tinggi (30%).
2. Penggunaan Kapur
Hasil penelitian Hutami (1997) menunjukkan bahwa penambahan kapur 1% dan 3% pada kotoran ayam dapat mengurangi pelepasan gas amonia dan H2S secara nyata, pH kotoran. menjadi lebih tinggi, namun masih dalam kisaran 7,77‑8,42. Penggunaan kapur pada kotoran ayam selain mengurangi cemaran amonia ke udara, juga pupuk yang dihasilkan akan mengandung nitrogen yang cukup tinggi, karena tidak banyak nitrogen yang hilang sebagai amonia. Kehilangan nitrogen pada kotoran merupakan kerugian bagi para peternak, karena pupuk yang dihasilkan kualitasnya akan berkurang, kandungan nitrogennya menjadi lebih rendah. Penggunaan kapur 1% yang ditaburkan pada kotoran ayam, memberikan kualitas kotoran ayam sebagai pupuk organik dengan konsentrasi nitrogen 4,96 mg/g bobot kering atau 0,496%, masih termasuk kualitas pupuk organik yang baik (Arifiani, 1997).

3. Penggunaan Mikroba
Panggunaan mikroba untuk nmigurangi pembentukan gas amonia telah pula dicoba diantaranya adalah probiotik starbio yang ditambahkan pada pakan ayam pedaging dan ayam buras petelur (Zainuddin dkk., 1994; Zainuddin dan Wahyu, 1996). Penambahan 0,025-0,05% starbio pada pakan ayam. komersial, ternyata kadar amonia di lingkungan kandangnya (4‑5 ppm) lebih rendah dibandingkan dengan kadar amonia di lingkungan kandang yang pakannya diberikan tanpa penambahan starbio (8‑10 ppm) (Zainuddin dkk., 1994). Suplementasi probiotik juga menguntungkan karena penerimaan produk akhir dikurangi biaya pakan (income over feed cost) lebih tinggi baik pada ayam. pedaging maupun ayarn buras petelur (Zainuddin dkk, 1994; Zainuddin dan Wahyu, 1996). Penggunaan mikroba pengurai limbah yang disebut effective microorganism (EM4) pada kotoran ayam telah pula dicoba dan ternyata penggunaan EM4 dengan kadar 1,5 % dapat menurunkan kadar gas amonia dan H2S (Palgunadi dkk., 1999).
Pada saat kadar gas sangat tinggi, ternak akan mengalami gangguan fisiologis kemudian bila kadarnya terus meningkat akan terjadi keracunan sehingga harus segera ditangani dengan cara menghilangkan faktor penyebabnya dan melakukan injeksi atropin untuk meningkatkan konstriksi pembuluh darah kemudian memindahkan ternak ke tempat yang mempunyai ventilasi dengan pertukaran udara yang baik. Pemberian antibiotik juga dianjurkan pada saat terjadi gejala enteritis dan penumonia.







BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan
Limbah peternakan ayam berdampak terhadap kesehatan ternak itu sendiri dimana limbah padat akan meyebabkan terjadinya infestasi cacing Cestoda jenis Reiletina spp. Limbah cair akan menyebabkan terjadinya infeksi E. colli sedangkan limbah gas dapat menyebabkan terjadinya iritasi, diare, keracunan, dan kematian.
4.2 Saran
Untuk mengurangi dampak limbah peternakan ayam terhadap kesehatan ternak diperlukan manajemen pengelolaan yang maksimal dengan upaya penanganan limbah yang memadai dan mencegah terjadinya infestasi parasit, infeksi bakteri dan keracunan.


DAFTAR PUSTAKA

Arifiani, D. 1997 Pengaruh Kapur terhadap Kandungan Nitrogen pada Kotoran Ayam Broiler. Skripsi Karya Utama Sarjana Kimia. Jurusan Kimia, Fakultas Maternatika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Depok.
Azhari dan T. B. Murdiati. 1997, Pengaruh Penaburan Zeolit dan Morin terhadap Pengurangan Dampak Negatif Kotoran Ayam. Mod. Mata, J. 11miah. Uni. Sayh Kuala, Banda Aceh. 25:66‑76
Deptan. 1991. Surat Keputusan Menteri Pertanian, SK Mentan No. 237/Kpts/RC.410/1991. Departemen Pertanian RI. Jakarta
Deptan. 1994. Surat Keputusan Menteri Pertanian, SK Mentan No. 752/Kpts/OT.210/10/94,21 Oktober 1994. Departemen Pertanian RI. Jakarta
Ditjennak. 2006. Flu Burung. Brosur Deptan. Jakarta
Ditjennak. 2010. Data Populasi. Bank Data Deptan. Jakarta
Fauziah. 2009. Upaya Pengelolaan Lingkungan Usaha Peternakan Ayam. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Balai Penelitian Veteriner, Bogor
Fontenot, J.P., W. Smith, and A.L. Sutton. 1983. Altenatif Utilization Of Animal Waste, J.Anim. Sci. 57:221‑223
Foot, A.S.,S. Banes, JA.C.G. Oge, J.C. Howkins, V.C. Nielsen, and Jr.O. Callaghan. 1976. Studies on Farm Livestock Waste. I” ed. Agriculture Research Council, England
HCNFS. 1995. Effective Microoorganisms 4 (EM4). Brosur Pt. Songgolangit Persada. Indonesian Kyusei Nature Farming Societies. Jakarta
Hutami, D. 1997. Pengaruh Pemberian Kapur terhadap Pelepasan Gas Arnonia dan Hidrogen Sulfida pada Kotoran Ayarn Petelur. Skripsi Karya Utarna Sarjana Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Depok
Malone, G.W. 1992. Nutrient Enrichment In Integrated Broiler Production System. Poultry Sci. 71:117‑1122
Murdiati, T.B., S.Rachmawati, dan E. Juapjni. 1995. Zeolit Untuk Mengurangi Bau Dari Kotoran Ayam. Proc. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid 2 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian,hal.991‑998
Palgunadi, N.W.L., M. Sudarwanto, L. Barka, dan E.S. Pribadi. 1999. Penambahan Mikroba Pengurai Limbah Pada Kotoran Untuk Menurunkan Kadar Gas Amonia Dan Hidrogen Sulfida Di Peternakan Ayam Di Bali. Media Veteriner (Majalah Ilmu Kedokteran Veteriner Indonesia). 6(l):15‑18
Pauzenga. 1991. Animal Production In The 90′S In Harmony With Nature, A Case Study in the Nederlands. In: Biotechnology in the Feed Industry. Proc. Alltech’s Seventh Annual Symp. Nicholasville. Kentucky
Rangga Tabu, Charles dan B. Hariyono. 1991. Pencernaran Lingkungan oleh Limbah Peternakan dan Pengelolaannya. Bull. FKH‑UGM.X(2):71‑75
Rasyaf, Muhammad. 2001. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Jakarta
Setiawan. H. 1996. Amonia, Sumber Pencemar yang Meresahkan. Dalam : Infovet (Informasi Dunia Kesehatan Hewan). Edisi 037. Agustus hal. 12
Suharto dan Winantuningsih. 1993. Bakteri‑bekteri Pemangsa. Dalam : Zainuddin, D., K.Diwyanto dan Suharto (penj). Pros. Perternuan Nasional Pengelolaan dan komunikasi Hasil‑hasil Penelitian. Sub Balai Penelitian Temak Klepu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.hal. 159‑165
Suryana, Ahmad. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Pangan Peternakan Bermutu, Aman dan Halal. Balitbang Deptan. Jakarta
Sutarti dan Rachmawati. 1994. Zeolit. Tinjauan Literatur. Pusat Dokumentasi dan Informasi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta
Svensson, L. 1990. Puffing the Lid on the Dung Heaps. Acid. Enviro. Magazine.9:13‑15
Zainuddin, D., K.Dwiyanto, dan Suharto. 1994. Penggunaan Probiotic Starbio, (Mikroba Starter) Dalam Ransurn Ayam Pedaging Terhdap Produktivitas, Nilai Ekonomis (IOFC) Dan Kadar Amonia Lingkungan Kandang. Pros. Perternuan nasional Pengolahan dan Komunikasi Hasil‑hasil Penelitian. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.hal. 159165
Zainuddin, D. dan Wahyu. 1996. Suplementasi Probiotik Starbio Dalam Pakan Terhadap Prestasi Ayam Buras Petelur dan Kadar Air Feses. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.hal.509‑513

Senin, 26 Oktober 2009

puskeswan takari

kondisi puskeswan takari saat ini sangat memprihatinkan, bukan hanya dari segi kondisi fisik bangunannya yang sudah retak-retak tetapi juga sarana dan prasarana yang mendukungnya. perubahan nama dari poskeswan menjadi puskeswan ternyata tidak diikuti oleh perubahan infrastruktur dan fasilitasnya sehingga tetap saja minim peralatan dan perlengkapan. kurang diperhatikannya peran dan fungsi puskeswan dalam mendukung tercapainya program gubernur NTT dalam rangka revitalisasi bidang peternakan untuk mengembalikan NTT sebagai gudang ternak menyebabkan kurang terurusnya puskeswan sehingga staff di puskeswan menjadi satu-satunya tenaga lapangan (fungsional) yang tidak mendapatkan biaya operasional. aneh memang????
tetapi itulah, kebijakan pimpinan adalah amanah bagi kami sehingga apapun kondisinya kami tetap berjuang untuk dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat khususnya kecamatan takari, inilah wujud pengabdian kami. MENGADIKAN DIRI UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT MELALUI DUNIA HEWAN.

myDream

inilah impianku, memiliki media tempat saling berbagi.
semoga bermamfaat.