oki sugiyarto

Minggu, 11 Juli 2010

dampak limbah peternakan ayam terhadap kesehatan ternak

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Berbagai lapisan masyarakat Indonesia sangat membutuhkan pangan hewani guna mendapatkan generasi bangsa yang sehat dan cerdas. Apresiasi masyarakat terhadap pangan asal ternak cukup tinggi, walaupun secara umum masyarakat Indonesia baru dapat memenuhi 69,8% dari kebutuhan protein hewani (Suryana, 2007). Salah satu sumber protein asal hewani adalah daging ayam, sehingga peternakan ayam di Indonesia tumbuh dengan pesat seiring meningkatnya permintaan pasar akan daging ayam tersebut. Populasi ayam di Indonesia pada tahun 2009 adalah 110,106,248 ekor untuk aya petelur, 261.398.127 ekor untuk ayam kampung, dan 930.317.847 ekor untuk ayam ras broiler ( Ditjennak, 2010).
Meningkatnya populasi ternak ayam di Indonesia juga diikuti dengan meningkatnya persebaran penyakit, baik penyakit ayam klasik (ND, IBD, CRD dan Coryza) dan penyakit baru yaitu Flu burung (AI). Dalam kurung waktu 2 tahun yaitu antara tahun 2003-2005, flu burung telah menginfeksi 4,5 juta ekor unggas dan 3,2 juta diantaranya mati (Ditjennak, 2006). Besarnya tingkat morbiditas dan mortalitas dari flu burung tersebut diduga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan peternakan, dimana lingkungan yang kurang nyaman menyebabkan tingginya tingkat stress pada ayam (data pengaruh lingkungan terhadap kesehatan ternak belum ada). Salah satu penyebab tingginya tingkat stress pada ayam karena pengaruh lingkungan adalah limbah peternakan dimana limbah tersebut diduga berpengaruh terhadap kesehatan ternak ayam itu sendiri, sehingga diperlukan suatu kajian tentang dampak limbah terhadap kesehatan ternak.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dampak pencemaran limbah peternakan ayam terhadap kesehatan ternak.


1.3 Kegunaan
Kegunaan dari penulisan ini adalah diketahuinya dampak dari pencemaran limbah ayam terhadap kesehatan ternak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Limbah Peternakan Ayam
Usaha peternakan ayam akhir‑akhir ini mulai sering dituding sebagai usaha yang ikut mencemari lingkungan. Oleh karena itu, agar petemakan ayam tersebut merupakan suatu usaha yang berwawasan lingkungan dan efisien, maka tatalaksana pemeliharaan, perkandangan, dan penanganan limbahnya harus selalu diperhatikan. Limbah merupakan sejenis kotoran yang merupakan hasil pembuangan atau hasil ikutan dari peternakan ayam. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertanian telah menyadari hal tersebut dengan mengeluarkan peraturan menteri melalui SK Mentan No. 237/1991 dan SK Mentan No. 752/1994, yang menyatakan bahwa usaha peternakan dengan populasi tertentu perlu dilengkapi dengan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan. Untuk usaha peternakan ayam ras pedaging, yaitu populasi lebih dari 15.000 ekor per siklus terletak dalam satu lokasi, sedangkan untuk ayam petelur, populasi lebih dari 10.000 ekor induk terletak dalam satu hamparan lokasi (Deptan, 1991; 1994).
2.1.1 Limbah Padat
Pemeliharaan ayam petelur biasanya dilakukan dengan sistem baterai, yakni sejumlah ayam dipelihara dalam kandang‑kandang terpisah dan ditempatkan agak tinggi dari permukaan tanah, dengan dasar kandang berlubang‑lubang sehingga kotoran akan jatuh dan bertumpuk di bawah kandang di atas tanah. Untuk pemeliharan ayam pedaging biasanya dengan sistem litter, yakni ayam‑ayam dipelihara dalam kandang dengan batas yang disekat‑sekat dan lantai kandang adalah tanah atau beton yang dilapisi dengan sekam. Jumlah kotoran ayam dewasa yang dikeluarkan setiap harinya rata‑rata per ekor ayam 0, 15 kg (Rangga Tabu dan Hariono, 1991). Fontenot et al. (1983) melaporkan bahwa rata-rata produksi buangan segar ternak ayam petelur dewasa adalah 0,06 kg/hari/ekor, dan kandungan bahan kering sebanyak 26%, sedangkan dari pemeliharaan ayam pedaging dewasa kotoran yang dikeluarkan sebanyak 0,1 kg/hari/ekor, dan kandungan bahan keringnya 25%. Kotoran ayam terdiri dari sisa pakan dan serat selulosa yang tidak dicerna. Kotoran ayam mengandung protein, karbohidrat, lemak dan senyawa organik lainnya. Protein pada kotoran ayam merupakan sumber nitrogen selain ada pula bentuk nitrogen anorganik lainnya. Komposisi kotoran ayam sangat bervariasi bergantung pada jenis ayam, umur, keadaan individu ayam, dan makanan (Foot et al., 1976).
Tabel 1. Komposisi rata‑rata kotoran ayam pedaging dewasa berdasarkan bobot basah.
Nama Unsur Kandungan unsur dalam kotoran/bobot basah
Minimum Maksimum Rata-rata
Total padatan (%) 38,00 92,00 75,80
Total N (%) 0,89 5,80 2,94
NH4‑N (%) 0,08 1,48 0,75
P205 (%) 1,09 6,14 3,22
K20 (%) 0,63 4,26 2,03
Ca (Kalsium)(ppm) 0,51 6,22 1,79
Mg (Magnesium)(ppm) 0,12 1,37 0,52
Sulfida (ppm) 0,07 1,05 0,52
Mn (Mangan)(ppm) 66,00 579,00 266,00
Zn (Seng) (ppm) 48,00 583,00 256,00
Cu (Tembaga)(ppm) 16,00 634,00 283,00
Sumber: Malone (1992)
Sumber pencemaran usaha peternakan ayam berasal dari kotoran ayam yang berkaitan dengan unsur nitrogen dan sulfida yang terkandung dalam kotoran tersebut. Pada saat penumpukan kotoran atau penyimpanan terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganisme yang membentuk gas amonia, nitrat, dan nitrit serta gas sulfida. Gas‑gas tersebutlah yang menyebabkan bau (Svensson, 1990; Pauzenga, 1991). Kandungan gas amonia yang tinggi dalam kotoran juga menunjukkan kemungkinan kurang sempurnanya proses pencernaan atau protein berlebihan dalam pakan ternak, sehingga tidak semua nitrogen diabsorbsi, tetapi dikeluarkan sebagai amonia dalam kotoran (Pauzenga, 1991).
2.1.2 Limbah Cair
Air buangan berasal dari cucian tempat pakan dan minum ayam serta keperluan domestik lainnya. Jumlah air buangan ini sedikit dan biasanya terserap ke dalam tanah serta tidak berpengaruh besar terhadap lingkungan sekitar. Biological Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis (KOB) menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme hidup untuk memecah atau mengoksidasi bahan organik dalam air. Oleh karena itu, nilai BOD bukanlah merupakan nilai yang menujukkan jumlah atau kadar bahan organik dalam air, tetapi mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi atau menguraikan bahan-bahan organik tersebut. BOD tinggi menunjukkan bahwa jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mengoksidasi bahan organik dalam air tersebut tinggi, berarti dalam air sudah terjadi defisit oksigen. Banyaknya mikroorganisme yang tumbuh dalam air disebabkan banyaknya makanan yang tersedia (bahan organik), oleh karena itu secara tidak langsung BOD selalu dikaitkan dengan kadar bahan organik dalam air.
BOD5 merupakan penentuan kadar BOD baku yaitu pengukuran jumlah oksigen yang dihabiskan dalam waktu lima hari oleh mikroorganisme pengurai secara aerobik dalam suatu volume air pada suhu 20 derajat Celcius. BOD5 500mg/liter (atau ppm) berarti 500 mgram oksigen akan dihabiskan oleh mikroorganisme dalam satu liter contoh air selama waktu lima hari pada suhu 20 derajat Celcius. Beberapa dasar yang sering digunakan untuk menentukan kualitas air dilihat dari kadar BOD adalah Erat kaitannya dengan BOD adalah COD. Dalam bahan buangan, tidak semua bahan kimia organik dapat diuraikan oleh mikroorganisme secara cepat. Uji COD ini meliputi semua bahan organik di atas, baik yang dapat diuraikan oleh mikroorganisme maupun yang tidak dapat diuraikan. Oleh karena itu, hasil uji COD akan lebih tinggi dari hasil uji BOD. Air buangan mempunyai pH netral (pH=7), kandungan senyawa organik rendah yang ditunjukkan dengan nilai Bio Oxygen Demand (BOD) 15,32‑68,8 dan Chemical Oxygen Demand (COD) 35,12–92. Sebagai gambaran, kualitas air buangan dari usaha. peternakan ayam pedaging di daerah Ciparay, Kabupaten Bandung (Jawa Barat) dan nilai rata‑rata dari dua peternakan ayam petelur di daerah Kecamatan Kanirogo, kabupaten Blitar (Jawa Timur) dapat dilihat pada Tabel 1 (Balitvet (1993) dalam Fauziah, 2009).
Tabel 2. Gambaran kualitas air buangan usaha peternakan ayam ras
Parameter Ayam Ras Pedaging Ayam Ras Petelur
Ph 7,44 7,70
BOD (Bio Oxygen Demand) (Mg/l) 6,80 15,39
COD (Chemical Oxygen Demand)(Mg/l) 92,12 35,12
Total Padatan (mg/1) 420 440
Pb (timah hitam) (mg/1) 0,05 0,019
Fosfor (mg/l) 6,75 7,66
Total coli 15 >2400
Sumber : Balivet (1993) dalam Fauziah, 2009
2.1.3 Limbah Gas
Dampak dari usaha peternakan ayam terhadap lingkungan sekitar terutama adalah berupa bau yang dikeluarkan selama proses dekomposisi kotoran ayam. Bau tersebut berasal dari kandungan gas amonia yang tinggi dan gas hidrogen sulfida , (H2S), dimetil sulfida, karbon disulfida, dan merkaptan. Senyawa yang menimbulkan bau ini dapat mudah terbentuk dalam kondisi anaerob seperti tumpukan kotoran yang masih basah. Senyawa tersebut tercium dengan mudah walau dalam konsentrasi yang sangat kecil. Akan tetapi, kepekaan terhadap bau ini sangat tidak mutlak, terlebih lagi bau yang disebabkan oleh campuran gas. Pada konsentrasi amonia yang lebih tinggi di udara dapat menyebabkan iritasi mata dan gangguan saluran penapasan pada ternak itu sendiri (Rangga Tabu dan Hariono, 1991). Bau kotoran ayam selain berdampak negatif terhadap kesehatan ternak juga menyebabkan menurunnya produktivitas ternak.
2.2 Kesehatan Ternak dan Upaya Mencegah Dampak Limbah
Kesehatan ternak merupakan faktor penentu keberhasilan beternak setelah pakan, sehingga diperlukan suatu pengelolaan yang tepat agar ternak senantiasa dalam keadaan sehat. Ciri-ciri ayam yang sehat adalah matanya bening, kepala dan badannya tegak, lincah bergerak. Apabila ayam matanya tertutup, kepalanya tertunduk dan hampir selalu terduduk maka ayam tersebut dalam keadaan sakit. Ayam yang sakit biasanya disebabkan oleh 2 faktor yaitu mikroorganisme dan lingkungan. Mikroorganisme penyebab penyakit pada ayam adalah bakteri, virus, parasit dan protozoa. Sedangkan lingkungan yang mempengaruhi kesehatan ternak adalah temperatur dan kelembaban, pola pemeliharaan dan makanan (Rasyaf, 2001). Pola pemeliharaan ternak yang tidak maksimal terutama dalam pengelolaan limbahnya dapat memicu munculnya masalah kesehatan ternak seperti stress, gangguan saluran pernapasan, dan gangguan saluran pencernaan.
Penanganan dampak limbah dapat dilakukan dengan berbagai cara, untuk limbah padat dan cair dapat dilakukan dengan desinfeksi sedangkan untuk limbah gas dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan membubuhkan sesuatu senyawa pada pakan sebagai imbuhan dengan tujuan meningkatkan efisiensi pakan, sehingga mengurangi sisa protein yang tidak tercerna dan diharapkan dapat mengurangi terbentuknya gas yang berbau dalam proses penumpukan kotoran. Pengelolaan dapat pula dilakukan terhadap kotoran yang dihasilkan dengan menambahkan suatu senyawa yang dapat mengurangi bau.
Penambahan senyawa dalam pakan dapat berupa probiotik starbio dan EM4. Probiotik starbio adalah mikroba pengurai protein (proteolitik), serat kasar (sellulitik), lignin (lignolitik), dan nitrogen fiksasi non simbiotik, yang berasal dari lambung sapi dan dikemas dalam campuran tanah, akar rumput dan daun‑daun atau ranting yang dibusukan (Suharto, dan Winantuningsih, 1993). EM4 adalah biakan campuran mikroorganisme tanah yang telah dikemas dalam bentuk cairan dan bentuk serbuk. Mikroorganisme tersebut mempunyai aktivitas mempercepat proses dekomposisi kotoran secara biologis, sehingga bau dapat berkurang (HCNFS, 1995).
Penambahan senyawa pada kotoran ternak dapat dilakukan dengan menambahkan zeolit dan kapur. Zeolit merupakan mineral galian tambang dan mudah diperoleh di Indonesia, yang dapat digunakan untuk mengurangi pencemaran gas amonia dan FeS pada kotoran ayam. Zeolit merupakan mineral yang terdiri atas kristal alumino silikat terhidrasi yang mengandung kation. Zeolit mempunyai struktur berongga dengan ukuran pori tertentu yang dapat berisi air atau ion yang dapat dipertukarkan dengan ion‑ion lain tanpa merusak struktur zeolit dan dapat menyerap air secara reversible. Zeolit diketahui mampu menyerap molekul‑molekul lain dan mampu menyerap gas‑gas C02, dan H2S (Sutarti dan Rachmawati, 1994). Kapur telah banyak digunakan dalam bidang lingkungan, terutama dalam proses pengolahan air sebagai penurun kesadahan, menetralkan keasaman, menurunkan kadar silikat dan bahan‑bahan organik, proses pengolahan bahan buangan biji besi dan pengolahan limbah tekstil untuk mengurangi warna. Pada petemakan ayam, kapur dapat digunakan untuk membersihkan lantai kandang, mengeringkan, dan mengurangi bau dari kotoran ayam. Komposisi utama dari bantuan kapur yang dipakai adalah CaCO3 dan MgCO3. Kapur yang tersedia di pasaran biasanya sudah mengalami proses kalsinasi dengan pemanasan, sehingga, berada dalam bentuk CaO, dan MgO.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Limbah Padat dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Ternak
Limbah padat berupa feses dan litter merupakan tempat yang optimal bagi berkembangnya larva beberapa parasit cacing, dimana keberadaan lalat rumah (Musca domestika) akan mempercepat siklus penyebarannya. Cacing Cestoda yang sering hidup pada ayam yaitu Raillietina spp. Infeksi Cestoda memiliki tingkat penyebaran lebih luas daripada infeksi oleh Nematoda dan Trematoda. Pada usus ayam buras rata-rata ditemukan 132,27 ekor cacing dimana 47,2 ekor diantaranya adalah cacing Cestoda Raillietina spp., sedangkan sisanya adalah cacing Nematoda dan Trematoda (tidak dibahas karena tidak terlalu menimbulkan gangguan kesehatan). Cacing Raillietina spp tergolong dalam phylum Platyhelmintes, Class Cestoidea, Sub Class Cestoda, Ordo Cyclophyllidea, Famili Davaineidea, Genus Railietina dan Spesies Raillietina spp.
Gejala klinis akibat cacing Cestoda pada ayam dipengaruhi antara lain oleh status pakan atau keadaan gizi ternak, jumlah infeksi dan umur ayam. Pada beberapa jenis infeksi, gejala umum pada ayam muda biasanya ditunjukkan oleh adanya penurunan bobot badan, hilangnya nafsu makan, kekerdilan, diare dan anemia. Penurunan produksi telur dan kesehatan secara umum juga merupakan gejala umum akibat infeksi cacing Cestoda. Cacing Cestoda dalam jumlah besar akan banyak mengambil sari makanan dari tubuh inangnya sehingga tidak jarang menyebabkan hypoglicemia dan hypoproteinemia selain itu juga menyebabkan degenerasi dan inflamasi villi selaput lendir usus yang menjadi tempat menempelnya ujung kait rostellum dan dalam keadaan infeksi berat dapat menyebabkan kekerdilan. Cacing Cestoda ini paling umum didapati pada ayam dengan kerusakan berupa enteritis haemorhagia. Cacing ini menyebabkan degenerasi dan peradangan pada vili-villi selaput lendir usus. Untuk mencegah berkembangnya larva cacing ini maka litter diganti setiap periode pemeliharaan atau minimal 3 bulan sekali dan juga mencegah berkembangnya lalat rumah dengan memasang lem perekat atau listrik penyengat. Ternak yang sudah terinfeksi larva cacing cestoda harus segera diobati. Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian obat cacing terutama Mebendazol, Tiabendazol, Albendazol, Piperazin, Dietilkarbamazin, dan Pirantel

3.2 Limbah Cair dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Ternak
Salah satu kandungan limbah cair adalah Eschericia colli, dimana bakteri ini dalam jumlah berlebih dapat menyebabkan penyakit Kolibasilosis. Penyakit ini sering dijumpai bahkan seolah-olah telah menjadi penyakit “wajib” pada peternakan ayam. Kejadian penyakit ini umumnya berkaitan langsung dengan pemilihan lokasi dan lingkungan peternakan terutama kebersihan. Kolibasilosis berhubungan langsung dengan sumber air minum di lapangan, karena keberadaan bakteri Escherichia colli penyebab Kolibasilosis di air dan tanah merupakan flora normal, sehingga tak heran jika hasil pemeriksaan laboratorium terhadap sampel air di lokasi peternakan hampir semua menunjukkan positif bakteri E. colli.
Bakteri E. colli mudah mencemari lingkungan kandang. Apalagi pada saat musim penghujan, dimana air hujan yang mengalir bersama tanah dan feses yang mengandung bakteri E. colli akan mencemari air sumur atau air tanah. E. colli tahan lama di lingkungan, setelah keluar dari inang (tubuh ayam), bakteri ini dapat bertahan tanpa "nutrisi" selama 20-30 hari, sehingga dapat menginfeksi ayam lain. Selain itu, bakteri ini juga mudah mengalami mutasi menjadi entero pathogenic E. colli (EPEC), yaitu menjadi bakteri patogen di saluran pencernaan. Selain itu, juga bermutasi menjadi entero toxigenic E. coli (ETEC), yaitu bakteri yang menghasilkan racun dan kemudian merusak mukosa usus.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, kebiasaan peternak menggunakan sumur dangkal sebagai sumber air minum untuk ternaknya merupakan penyebab utama Kolibasilosis selalu muncul. Sebabnya, sumur dangkal tersebut rawan tercemari oleh kuman E. colli terutama yang letaknya dekat dengan pembuangan limbah peternakan. Infeksi kuman colli diperparah bila air dari sumur tersebut tidak disanitasi. Gangguan yang bisa ditimbulkan oleh Kolibasilosis ini diantaranya adalah gangguan pertumbuhan dan produksi telur, juga merupakan pendukung timbulnya penyakit lain pada saluran pernapasan, pencernaan dan reproduksi yang sulit ditanggulangi serta tingginya biaya pengobatan. Kolibasilosis juga dapat menular melalui telur tetas yang tercemar. Anak ayam yang menetas dari telur tercemar tersebut akan mempunyai banyak bakteri E. colli yang bersifat merugikan (patogen) di dalam usus dan feses. Feses mengandung bakteri E. colli yang dikeluarkan dari tubuh menjadi sumber penular utama.
Kolibasilosis dapat terjadi pada semua umur ayam. Batas maksimum kuman E. colli dalam air minum adalah 1 E.colli/100 ml. Pada anak ayam sampai umur 3 minggu, Kolibasilosis menyebabkan kematian dengan gejala omphalitis. Sedangkan pada ayam petelur, Kolibasilosis menyebabkan produksi telur menurun, puncak produksi telur tidak tercapai, masa produksi telur tertunda dan mudah terinfeksi penyakit lain. Ayam yang pernah terinfeksi E. colli dapat menjadi pembawa (carrier) sehingga penyakit ini mudah kambuh di kemudian hari. Sementara, pada broiler Kolibasilosis menyebabkan kematian yang terjadi selama periode pemeliharaan dan perolehan berat badan saat panen yang rendah. Bakteri E. colli banyak terdapat di usus bagian belakang dan dikeluarkan dari tubuh dalam jumlah besar bersama dengan feses. Di dalam feses, bakteri ini dapat bertahan sampai beberapa minggu, tetapi tidak tahan terhadap kondisi asam, kering dan desinfektan. Bakteri E. colli merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang, dapat bergerak dan tidak membentuk spora.
Bakteri E. colli bisa masuk melalui saluran pencernaan, biasanya E. coli menyerang usus yang telah mengalami luka karena cacing, jamur atau koksidiosis. Kerusakan dapat dilihat berupa peradangan, penebalan dinding usus, edema dan keluar lendir bercampur darah. Ayam mengalami diare sehingga kondisi fisiknya akan menurun sehingga memudahkan terjadi infeksi skunder dari mikroorganisme lain.. Kuman E. colli juga bisa masuk ke saluran reproduksi karena pencemaran dari feses. Di saluran reproduksi kuman E.colli menginfeksi telur dan menyebabkan kematian embrio atau telur pecah di saluran reproduksi sehingga ayam mati mendadak.
Ayam yang pernah terinfeksi Kolibasilosis sulit untuk sembuh sempurna. Kondisi stres dan daya tahan tubuh yang turun biasanya menjadi faktor pemicu munculnya kembali penyakit Kolibasilosis. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang diantaranya adalah Kolibasilosis merupakan penyakit ikutan, artinya mengikuti penyakit lain seperti chronic respiratory disease (CRD), dan Koksidiosis. Selain itu proses terjadinya penyakit juga cenderung lambat. Gejala klinis Kolibasilosis baru dapat terlihat jelas jika penyakit sudah berlangsung lama dan bersifat kronis. Tempat predileksi (kesukaan) bakteri E. colli yang terletak di kantung udara, di mana pembuluh darah di daerah kantung udara sedikit sekali menyebabkan pengobatan secara sistemik (melalui sirkulasi darah) kurang efektif karena antibiotik yang mencapai kantung udara sangat sedikit sehingga obat tidak dapat terdistribusi optimal ke organ sasaran.
Sebagai upaya pencegahan dan pengobatan bisa dilakukan dengan bermacam cara, diantaranya adalah:
1. Sanitasi dan desinfeksi kandang dan peralatannya.
Kandang dibersihkan, dicuci dan disemprot dengan desinfektan. Tempat minum dicuci setiap 2 kali sehari. Kemudian rendam tempat minum yang telah dicuci dalam desinfektan selama 30 menit, setiap 4 hari sekali. Dalam perencanaan tata ruang perkandangan, pembuatan saluran harus didesain sedemikian rupa sehingga air selokan tidak menggenang dan mengalir dengan lancar ke tempat penampungan akhir, dimana di tempat penampungan akhir ini dilakukan proses bakteriosidal dan refrigerasi sebelum air limbah dialirkan ke tempat pembuangan sehingga air limbah yang keluar tidak mengandung bibit penyakit lagi terutama bakteri E. colli.
2. Mencegah tamu, hewan liar, dan hewan peliharaan lain masuk ke lingkungan kandang.
3. Mencegah stres.
Usahakan menghindari stres pada ayam dengan cara tatalaksana pemeliharaan yang benar, populasi ayam jangan terlalu padat, ventilasi udara cukup, dan diusahakan agar kadar amonia kurang di dalam kandang. Karena saat stres, semua bibit penyakit dapat dengan mudah masuk ke tubuh ayam.
4. Sanitasi air minum.
Sanitasi sumber air minum untuk ayam dari pencemaran logam berat dan kuman patogen dengan melarutkan desinfektan yang aman dikonsumsi ayam. Program sanitasi air minum dilakukan 1-2 kali dalam 1 minggu asal tidak mendekati jadwal vaksinasi. Sanitasi air rninum bisa dilakukan dengan klorinasi dengan cara memasukkan 3-5 ppm klorin ke dalam air minum. Lebih dari dosis tersebut, malah dapat menurunkan konsumsi ransum, konsumsi air minum dan produksi telur karena mengubah aras dan bau.
Di peternakan, klorinasi dilakukan menggunakan kaporit karena kaporit mengandung zat aktif klorin. Jika menggunakan kaporit murni, maka untuk memperoleh kadar yang aman dalam air minum dibutuhkan 6-10 gram kaporit tiap 1000 liter. Namun, biasanya kaporit yang tersedia di pasaran adalah konsentrasi 50% sehingga dosis pemakaian menjadi dua kali dari kaporit murni, yaitu 12-20 gram tiap 1000 liter air.
Kaporit dapat mengubah rasa dan bau air sehingga dapat menurunkan konsumsi air dan ransum. Oleh sebab itu, air minum yang mengandung kaporit harus dibiarkan terlebih dahulu minimal selama 6 jam sebelum diberikan ke ayam. Kualitas air sangat menentukan kadar bakteri di dalamnya, untuk mengetahui apakah sumber air rninum bebas dari pencemaran logam berat atau kuman patogen dapat dilakukan pemeriksaan sampel air di laboratorium. Standar air minum yang sehat untuk ayam yaitu:
- tidak berwarna
- tidak berbau
- jernih
- tidak ada endapan pH = 6-9
- kesadahan < 20 mg/liter
- garam (NaCI) < 1000 ppm
- total bahan terlarut < 3000 mg/liter
- nitrat dan nitrit < 5 ppm
- logam beracun < 0,5 ppm total
- jumlah bakteri < 3000/ml
- Jumlah E. colli dan Salmonella sp. = 0 (tidak ada)
5. Tatalaksana litter
Cegah litter menjadi sangat kering dan berdebu dengan tidak memasang litter terlalu tebal (ketebalan litter cukup 7-12 cm saja). Program penggantian litter secara berkala, biasanya untuk ayam pedaging dilakukan 1 kali sampai masa panen. Litter yang basah jangan dibalik tapi ditambah yang baru.
6. Pengobatan
Ayam yang terserang penyakit saluran pernapasan segera diobati. Pengobatan dilakukan sedini mungkin dengan pertimbangan populasi bakteri E. colli masih relatif sedikit dan mencegah penyebaran bakteri E. colli yang lebih banyak. Pengobatan belum tentu bisa menyembuhkan penyakit colibacillosis secara tuntas jika bakteri E. Colli sudah banyak bersarang di tubuh ayam (sudah parah). Kandang panggung bisa digunakan sebagai alternatif mencegah penyakit Kolibasilosis yang selalu muncul. Pengobatan penyakit Kolibasilosis menggunakan antibiotik seperti penstrep, terramicin, dan sulfadion untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri E. colli. Untuk menghindari resistensi obat, jika pernah menggunakan satu jenis obat tertentu selama 3 periode pemeliharaan, sebaiknya periode pemeliharaan berikutnya menggunakan antibiotik dari golongan yang berbeda.
3.3 Limbah Gas dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Ternak
Limbah gas dari peternakan ayam dapat berupa gas amonia (NH3) yang tinggi, gas hidrogen sulfida (H2S), dimetil sulfida, karbon disulfida, dan merkaptan. Gas amonia (NH3), dengan diameter partikel yang sangat kecil, NH3 mudah terserap menjadi bagian partikel debu (particulate matter) bersama debu kandang lainnya baik yang berasal dari hewan dan pakan maupun ikutan debu seperti spora bakteri dan jamur, virus, endotoksin, dan gas berbahaya lainnya.
Tabel 3. Pengaruh gas amonia pada hewan
Kadar amonia (ppm) Gejala/Pengaruh yang ditimbulkan pada ternak

5 Kadar paling rendah yang tercium baunya
6 Mulai timbul iritasi pada mukosa mata dan saluran napas
11 Penurunan produktivitas ayam
25 Kadar maksimum yang dapat ditolerir selama 8 jam
35 Kadar maksimum yang dapat ditolefir selama 10 menit
40 Mulai menyebabkan hilangnya nafsu makan
50 Penurunan drastis produktivitas ayam dan juga terjadi pembengkakan bursa fabricious
>120 Pingsan dan mati
Sumber: Setiawan (1996)
Tabel 4. Pengaruh pemaparan gas hidrogen sulfida (H2S) pada ternak
Kadar gas H2S (ppm/jam) Pengaruh
10 Iritasi mata
20 Iritasi hidung, dan tenggorokan
50‑100 Diare
200 Pneumonia
500 per menit Pingsan
600 per menit Mati
Sumber: Pauzenga (1991)
Untuk mengetahui kadar limbah gas dalam kandang dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat pendeteksi kadar gas (microcontroler), tetapi jika alat tersebut tidak tersedia maka pendeteksian dapat dilakukan dengan menggunakan panca indra dan pengamatan tingkah laku ternak. Apabila kadar gas dalam kandang tinggi maka kandang akan terasa pengap dan berbau tajam serta sulit bernapas. Selain itu ternak terlihat sesak nafas dan berusaha mendekati ventilasi untuk menghirup udara dari luar kandang. Untuk mencegah dampak limbah gas terhadap ternak dapat dilakukan dengan penambahan Zeolit dan Kapur pada kotoran ayam serta penambahan mikroba pada pakan.
1. Penggunaan Zeolit
Percobaan penggunaan Zeolit pada skala laboratorium diketahui bahwa pemberian Zeolit secara langsung pada kotoran ayam ternyata lebih efektif dalam menekan pembentukan gas amonia dan H2S pada kotoran ayam tersebut. Zeolit dengan konsentrasi 10% yang ditambahkan pada kotoran ayam mampu mengurangi pembentukan gas‑gas tersebut secara nyata. Penggunaan Zeolit dengan konsentrasi 5% hanya mampu menekan gas H2S secara nyata, sedangkan pembentukan gas amonia juga berkurang namun tidak terlihat nyata (Murdiati et al., 1995).
Azhari dan Murdiati (1997) melaporkan hasil penelitiannya dengan menggunakan Zeolit yang dicampur dengan Morin yang ditaburkan pada kotoran ayam. Konsentrasi Zeolit yang lebih tinggi, yaitu 15% dan 30%, sedangkan konsentrasi Klorin yang digunakan adalah 1 000 ppm. Ternyata. penaburan Zeolit 30% pada kotoran. sangat efektif dalam mengurangi konsentrasi gas H2S selama 8 hari, sedangkan gas amonia berkurang drastis selama 10 hari. Penambahan Zeolit yang dikombinasikan dengan Klorin pada kotoran secara rata‑rata cenderung mengurangi konsentrasi gas‑gas tersebut menjadi semakin rendah dibandingkan dengan penambahan bahan‑bahan tersebut secara terpisah. Namun perlu dipikirkan lebih lanjut efek dari penggunaan Klorin ini terutama dalam hal konsentrasinya, karena dalam kotoran Klorin berfungsi membunuh mikroba‑mikroba pembusukan yang menghasilkan gas amonia. Keadaan ini mungkin tidak sesuai jika kotoran tersebut digunakan sebagai pupuk, karena Klorin dapat membunuh mikroba‑mikroba tanah yang dibutuhkan. Selain itu, perlu pula dihitung apakah cukup ekonomis penggunaan Zeolit yang relatif tinggi (30%).
2. Penggunaan Kapur
Hasil penelitian Hutami (1997) menunjukkan bahwa penambahan kapur 1% dan 3% pada kotoran ayam dapat mengurangi pelepasan gas amonia dan H2S secara nyata, pH kotoran. menjadi lebih tinggi, namun masih dalam kisaran 7,77‑8,42. Penggunaan kapur pada kotoran ayam selain mengurangi cemaran amonia ke udara, juga pupuk yang dihasilkan akan mengandung nitrogen yang cukup tinggi, karena tidak banyak nitrogen yang hilang sebagai amonia. Kehilangan nitrogen pada kotoran merupakan kerugian bagi para peternak, karena pupuk yang dihasilkan kualitasnya akan berkurang, kandungan nitrogennya menjadi lebih rendah. Penggunaan kapur 1% yang ditaburkan pada kotoran ayam, memberikan kualitas kotoran ayam sebagai pupuk organik dengan konsentrasi nitrogen 4,96 mg/g bobot kering atau 0,496%, masih termasuk kualitas pupuk organik yang baik (Arifiani, 1997).

3. Penggunaan Mikroba
Panggunaan mikroba untuk nmigurangi pembentukan gas amonia telah pula dicoba diantaranya adalah probiotik starbio yang ditambahkan pada pakan ayam pedaging dan ayam buras petelur (Zainuddin dkk., 1994; Zainuddin dan Wahyu, 1996). Penambahan 0,025-0,05% starbio pada pakan ayam. komersial, ternyata kadar amonia di lingkungan kandangnya (4‑5 ppm) lebih rendah dibandingkan dengan kadar amonia di lingkungan kandang yang pakannya diberikan tanpa penambahan starbio (8‑10 ppm) (Zainuddin dkk., 1994). Suplementasi probiotik juga menguntungkan karena penerimaan produk akhir dikurangi biaya pakan (income over feed cost) lebih tinggi baik pada ayam. pedaging maupun ayarn buras petelur (Zainuddin dkk, 1994; Zainuddin dan Wahyu, 1996). Penggunaan mikroba pengurai limbah yang disebut effective microorganism (EM4) pada kotoran ayam telah pula dicoba dan ternyata penggunaan EM4 dengan kadar 1,5 % dapat menurunkan kadar gas amonia dan H2S (Palgunadi dkk., 1999).
Pada saat kadar gas sangat tinggi, ternak akan mengalami gangguan fisiologis kemudian bila kadarnya terus meningkat akan terjadi keracunan sehingga harus segera ditangani dengan cara menghilangkan faktor penyebabnya dan melakukan injeksi atropin untuk meningkatkan konstriksi pembuluh darah kemudian memindahkan ternak ke tempat yang mempunyai ventilasi dengan pertukaran udara yang baik. Pemberian antibiotik juga dianjurkan pada saat terjadi gejala enteritis dan penumonia.







BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN

4.1 Simpulan
Limbah peternakan ayam berdampak terhadap kesehatan ternak itu sendiri dimana limbah padat akan meyebabkan terjadinya infestasi cacing Cestoda jenis Reiletina spp. Limbah cair akan menyebabkan terjadinya infeksi E. colli sedangkan limbah gas dapat menyebabkan terjadinya iritasi, diare, keracunan, dan kematian.
4.2 Saran
Untuk mengurangi dampak limbah peternakan ayam terhadap kesehatan ternak diperlukan manajemen pengelolaan yang maksimal dengan upaya penanganan limbah yang memadai dan mencegah terjadinya infestasi parasit, infeksi bakteri dan keracunan.


DAFTAR PUSTAKA

Arifiani, D. 1997 Pengaruh Kapur terhadap Kandungan Nitrogen pada Kotoran Ayam Broiler. Skripsi Karya Utama Sarjana Kimia. Jurusan Kimia, Fakultas Maternatika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Depok.
Azhari dan T. B. Murdiati. 1997, Pengaruh Penaburan Zeolit dan Morin terhadap Pengurangan Dampak Negatif Kotoran Ayam. Mod. Mata, J. 11miah. Uni. Sayh Kuala, Banda Aceh. 25:66‑76
Deptan. 1991. Surat Keputusan Menteri Pertanian, SK Mentan No. 237/Kpts/RC.410/1991. Departemen Pertanian RI. Jakarta
Deptan. 1994. Surat Keputusan Menteri Pertanian, SK Mentan No. 752/Kpts/OT.210/10/94,21 Oktober 1994. Departemen Pertanian RI. Jakarta
Ditjennak. 2006. Flu Burung. Brosur Deptan. Jakarta
Ditjennak. 2010. Data Populasi. Bank Data Deptan. Jakarta
Fauziah. 2009. Upaya Pengelolaan Lingkungan Usaha Peternakan Ayam. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Balai Penelitian Veteriner, Bogor
Fontenot, J.P., W. Smith, and A.L. Sutton. 1983. Altenatif Utilization Of Animal Waste, J.Anim. Sci. 57:221‑223
Foot, A.S.,S. Banes, JA.C.G. Oge, J.C. Howkins, V.C. Nielsen, and Jr.O. Callaghan. 1976. Studies on Farm Livestock Waste. I” ed. Agriculture Research Council, England
HCNFS. 1995. Effective Microoorganisms 4 (EM4). Brosur Pt. Songgolangit Persada. Indonesian Kyusei Nature Farming Societies. Jakarta
Hutami, D. 1997. Pengaruh Pemberian Kapur terhadap Pelepasan Gas Arnonia dan Hidrogen Sulfida pada Kotoran Ayarn Petelur. Skripsi Karya Utarna Sarjana Kimia. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Depok
Malone, G.W. 1992. Nutrient Enrichment In Integrated Broiler Production System. Poultry Sci. 71:117‑1122
Murdiati, T.B., S.Rachmawati, dan E. Juapjni. 1995. Zeolit Untuk Mengurangi Bau Dari Kotoran Ayam. Proc. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid 2 . Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian,hal.991‑998
Palgunadi, N.W.L., M. Sudarwanto, L. Barka, dan E.S. Pribadi. 1999. Penambahan Mikroba Pengurai Limbah Pada Kotoran Untuk Menurunkan Kadar Gas Amonia Dan Hidrogen Sulfida Di Peternakan Ayam Di Bali. Media Veteriner (Majalah Ilmu Kedokteran Veteriner Indonesia). 6(l):15‑18
Pauzenga. 1991. Animal Production In The 90′S In Harmony With Nature, A Case Study in the Nederlands. In: Biotechnology in the Feed Industry. Proc. Alltech’s Seventh Annual Symp. Nicholasville. Kentucky
Rangga Tabu, Charles dan B. Hariyono. 1991. Pencernaran Lingkungan oleh Limbah Peternakan dan Pengelolaannya. Bull. FKH‑UGM.X(2):71‑75
Rasyaf, Muhammad. 2001. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Jakarta
Setiawan. H. 1996. Amonia, Sumber Pencemar yang Meresahkan. Dalam : Infovet (Informasi Dunia Kesehatan Hewan). Edisi 037. Agustus hal. 12
Suharto dan Winantuningsih. 1993. Bakteri‑bekteri Pemangsa. Dalam : Zainuddin, D., K.Diwyanto dan Suharto (penj). Pros. Perternuan Nasional Pengelolaan dan komunikasi Hasil‑hasil Penelitian. Sub Balai Penelitian Temak Klepu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.hal. 159‑165
Suryana, Ahmad. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Pangan Peternakan Bermutu, Aman dan Halal. Balitbang Deptan. Jakarta
Sutarti dan Rachmawati. 1994. Zeolit. Tinjauan Literatur. Pusat Dokumentasi dan Informasi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta
Svensson, L. 1990. Puffing the Lid on the Dung Heaps. Acid. Enviro. Magazine.9:13‑15
Zainuddin, D., K.Dwiyanto, dan Suharto. 1994. Penggunaan Probiotic Starbio, (Mikroba Starter) Dalam Ransurn Ayam Pedaging Terhdap Produktivitas, Nilai Ekonomis (IOFC) Dan Kadar Amonia Lingkungan Kandang. Pros. Perternuan nasional Pengolahan dan Komunikasi Hasil‑hasil Penelitian. Sub Balai Penelitian Ternak Klepu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.hal. 159165
Zainuddin, D. dan Wahyu. 1996. Suplementasi Probiotik Starbio Dalam Pakan Terhadap Prestasi Ayam Buras Petelur dan Kadar Air Feses. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.hal.509‑513

Tidak ada komentar:

Posting Komentar