oki sugiyarto

Minggu, 11 Juli 2010

penyakit ternak di Kecamatan Takari

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Berbagai lapisan masyarakat Indonesia sangat membutuhkan pangan hewani guna mendapatkan generasi bangsa yang sehat dan cerdas. Dari berbagai jenis pangan hewani asal peternakan, maka Negara Indonesia sudah dapat berswasembada untuk telur dan daging ayam broiler, akan tetapi belum dapat mencukupi kebutuhan akan pangan hewani asal daging sapi dan susu. Apresiasi masyarakat terhadap pangan hewani asal ternak cukup tinggi, walaupun secara umum masyarakat Indonesia baru dapat memenuhi 69,8% dari kebutuhan protein hewani (Suryana, 2007). Rataan konsumsi pangan hewani asal daging, susu dan telur masyarakat Indonesia adalah 4,1; 1,8 dan 0,3 gram/kapita/hari (Direktorat Jendral Peternakan, 2006). Angka angka tersebut barangkali jauh lebih rendah dari angka konsumsi standar Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi yang diselenggarakan oleh LIPI tahun 1989 yaitu sebanyak 6 gram/kapita/hari atau setara dengan 10,3 kg daging/kapita/tahun, 6,5 kg telur /kapita/tahun, dan 7,2 kg susu/kapita/tahun (Direktorat Jendral Peternakan, 2006). Namun demikian, dengan populasi sapi potong sebesar 11 juta ekor hanya mampu memenuhi produksi daging sapi nasional sebesar 306 ribu ton (pemotongan sekitar 1,5 juta ekor/tahun) atau baru memenuhi 69,8% dari kebutuhan nasional. Sehingga pemerintah masih memerlukan importasi bakalan sapi potong sejumlah 408 ribu ekor/tahun (setara dengan 56 ribu ton)(Suryana, 2007). Besarnya importasi bakalan sapi potong tentu saja akan sangat menguras devisa Negara dan membuat ketergantungan pada pihak luar.
Sejalan dengan program yang dicanangkan oleh pemerintah pusat tentang swasembada daging tahun 2014, maka pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) juga merencanakan program revitalisasi peternakan dengan mengembalikan NTT sebagai “gudang ternak” yang lebih dikenal dengan program “anggur merah”. Definisi “gudang ternak” dapat diinterpretasikan sebagai peningkatan populasi ternak sapi Bali dari 577.552 ekor pada tahun 2009 menjadi 722.823 ekor pada tahun 2013 (Dinas Peternakan Prop. NTT, 2010). Revitalisasi sektor peternakan di NTT harus dilakukan mengingat semakin meningkatnya permintaan akan kebutuhan daging, dimana peningkatan tersebut rata-rata 2,05% pertahun. Pada tahun 2008 kebutuhan daging sebesar 4.770 ton dan pada tahun 2009 sebesar 4.868 ton. Peningkatan permintaan daging akan diikuti dengan peningkatan jumlah ternak sapi Bali yang dipotong (Dinas Peternakan Prop. NTT, 2010), selain itu juga terjadi peningkatan jumlah ternak yang diantar-pulaukan (Suharyo dkk. (2007); Dinas Peternakan Prop. NTT (2010)).
Tingginya kebutuhan konsumsi daging sapi Bali di NTT tidak diimbangi dengan peningkatan produktifitasnya, dimana produktifitas ternak sapi di daerah ini sangat rendah dan mempunyai kecenderungan untuk semakin rendah dari tahun ke tahun. Hasil penelitian Jelantik (2001) mencatat produktivitas sapi Bali pada dua sistem pemeliharaan (gembala dan diikat) hanya 9,45 % dari populasi yang ada. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya ketersediaan dan kualitas bakalan.
Tingginya angka kematian pedet sebelum disapih merupakan faktor utama yang menyebabkan rendahnya ketersediaan bakalan sapi Bali di Pulau Timor . Beberapa penelitian yang telah diadakan di daerah ini pada umumnya mengungkapkan tingginya angka kematian pedet tersebut. Wirdahayati (1989) melaporkan bahwa tingkat kematian pedet pada sapi Bali yang dipelihara secara ekstensif atau semi ekstensif di NTT berkisar antara 25 sampai 30%. Bamualim dkk (1990), Malessy dkk (1990) dan Bamualim (1992) mencatat kematian pedet mencapai 47 % dari jumlah yang dilahirkan. Tingkat kematian yang sangat tinggi yaitu lebih dari setengah (53,3%) juga pernah dilaporkan (Fattah, 1998). Survei yang belakangan dilakukan selama 2 tahun berturut-turut pada dua sistem pemeliharaan yang berbeda (gembala dan diikat) juga mengindikasikan bahwa kematian anak sapi tetap masih sangat tinggi (Jelantik, 2001). Nampak jelas bahwa kematian pedet merupakan faktor yang paling berperan yang menyebabkan kelangkaan bakalan untuk digemukan dan kemudian diantar pulaukan. Hasil penelitian Jelantik (2001) menyimpulkan bahwa hasil anak per tahun dari sekelompok betina induk hanya 21 % karena hampir setengah dari anak yang lahir mati sebelum berumur 1 tahun. Dari data-data tersebut bisa dibayangkan tingkat kerugian ekonomis yang telah dialami oleh peternak di daerah ini selama bertahun-tahun. Jumlah kematian pedet pertahunnya mencapai 66.464 ekor pedet dengan asumsi 35,1 % dari 192.024 ekor yang dilahirkan oleh sekitar 302.400 ekor betina pada tahun 1998 pada saat populasi sapi di Nusa Tenggara Timur mencapai 720 ribu ekor (Jelantik, 2001). Jika seekor pedet pada umur satu tahun dihargai Rp. 800.000 hingga Rp. 1.000.000 maka kerugian yang dialami peternak setiap tahunnya mencapai 53,17 sampai 66,5 miliar rupiah. Angka ini merupakan kerugian ekonomis yang sangat besar bagi daerah ini.
Menurut Mullik dkk (2007) pola kematian anak sapi Bali di pulau Timor terkonsentrasi pada dua bulan yaitu bulan Juli dan bulan Agustus, dimana kematian pada bulan Juli diduga disebabkan karena kekurangan pakan dan infeksi tali pusar (Omphalitis) sedangkan kematian bulan Agustus disebabkan karena penyakit diare dan cacing mata (Thelaziasis). Kematian anak sapi umur 1-2 tahun juga masih tinggi berkisar antara 4-21 % sedangkan kematian sapi dewasa berkisar antara 5-8% (Wirdahayati, 1994; Jelantik, 2001). Tingginya kematian sapi Bali di NTT diduga disebabkan karena kekurangan pakan pada musim kemarau dan juga karena penyakit. Angka kejadian penyakit di Kecamatan Takari pada tahun 2007 sebesar 874 ekor dari populasi ternak 14.685 ekor atau sekitar 5,95% sedangkan pada tahun 2008 sedikit menurun menjadi 760 ekor dari populasi ternak 14.816 ekor atau sekitar 5,1% (Puskeswan Takari, 2009). Berdasarkan data diatas maka diperlukan adanya suatu kajian tentang berbagai penyakit yang sering menyerang ternak sapi Bali di Kecamatan Takari Kabupaten Kupang.
2.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui berbagai penyakit ternak sapi di kecamatan Takari dan strategi mengatasinya.
2.3 Kegunaan
Kegunaan dari penulisan ini adalah diketahuinya berbagai penyakit kesehatan ternak sapi di kecamatan Takari dan strategi mengatasinya.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecamatan Takari
Kecamatan Takari merupakan salah satu kecamatan di kabupaten Kupang yang berbatasan dengan kabupaten Timor Tengah Selatan dengan topografi yang berbukit-bukit. Secara administrasi kecamatan Takari terdiri dari 9 desa dan 1 kelurahan, dengan luas daerah 586.51 Km2 yang terdiri dari lahan basah 586 Ha, irigasi : 110 Ha, tadah hujan 242 Ha, lahan kering 33.590 Ha, dan pekarangan 373 Ha. Jumlah penduduk 18.553 jiwa dengan perincian laki-laki sebanyak 9.293 jiwa dan Perempuan 9.260 jiwa dengan tingkat kepadatan 32 jiwa/Km (Pemda Kupang, 2008).
Di bidang peternakan, populasi ternak di kecamatan Takari cukup tinggi, dimana pada tahun 2007 jumlah ternak sapi 14,685 ekor, kerbau 14 ekor, kuda 116 ekor, kambing 5,022 ekor dan babi 4,444 ekor (Dispet Kab.Kupang, 2008). Fasilitas penunjang yang ada adalah satu puskeswan dengan satu dokter hewan dan satu paramedis serta 2 tenaga penyuluh peternakan. Pada tahun 2008, ada 1.153 kasus penyakit ternak dengan rincian 760 kasus pada ternak sapi, 15 pada kuda, 151 pada kambing, 85 pada babi dan sisanya pada ternak ayam (Puskeswan, 2009). Kasus penyakit pada ternak sapi didominnasi oleh penyakit Septicemia Epizootika (SE) sebesar 35%, kemudian penyakit Thelaziasis 20%, Scabies 16%, Bloat 13%, Traumatis 11% dan sisanya penyakit Brucellosis
2.2 Penyakit Ternak
2.2.1 Penyakit Septicemia Epizootika (SE)
Penyakit Septicemia Epizootika (SE) disebut juga penyakit Ngorok, Septicemia Hemorrhagica, Hemorrhagic Septicemia, dan Barbone. Penyakit SE merupakan penyakit menular terutama menyerang sapi dan kerbau. Penyakit biasanya berjalan akut dengan angka kematian tinggi terutama pada penderita yang telah memperlihatkan tanda penyakit dengan jelas. Penyakit SE disebabkan oleh kuman Pasteurella multocida. Dimana Infeksi berlangsung melalui saluran pencernaan dan pernapasan. Cekaman pada ternak merupakan predisposisi untuk terjangkitnya penyakit. Sapi atau kerbau yang terlalu bayak dipekerjakan, pemberian pakan yang berkualitas rendah, kandang yang penuh dan berdesakan, kondisi pengangkutan yang melelahkan, kedinginan dan keadaan anemia dapat memicu terjadinya infeksi.
Program pemberantasan penyakit SE di NTT sudah dimulai sejak tahun 1984/1985 yaitu di Kabupaten Sumba Timur, namun tidak jelas kelanjutannya, sehingga pada tahun 2004 kembali dicanangkan program pemberantasan di Pulau Sumba dan ditargetkan dibebaskan pada tahun 2008. Tahun 2005-2007 di Kabupaten Sumba Timur masih dilaporkan terjadinya kasus SE sedangkan di Kabupaten Sumba Barat pada tahun 2007 sudah tidak ada kasus (Disnakpet, 2008)
Penyakit SE dilaporkan menyerang 272 ekor sapi yang menyebabkan kematian pada bulan Pebruari tahun 2006 di Kecamatan Miomafo Timur, Kabupaten Timor Tengah Utara, dan sampai pertengahan bulan Pebruari kematian bertambah menjadi 500 ekor sapi, dengan populasi terancam mencapai 58.000 ekor di Kabupaten TTU. Pada tahun 2007 bulan April – Mei penyakit SE dilaporkan terjadi di Desa Pitay, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang; Desa Banuan dan Kelurahan Humusu A, Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara. Di Kecamatan Sulamu menyerang 14 ekor sapi yang menyebabkan kematian dengan populasi sapi terancam 800 ekor dan di Kecamatan Insana Utara menyebabkan 33 ekor sapi mati dengan populasi sapi terancam sebanyak 887 ekor (Disnakpet., 2008).
Pada tahun 2005, 488 ekor ternak sapi mati karena SE dengan rincian Kabupaten TTU sebesar 105 ekor, Rote Ndao 13 ekor, Alor 8 ekor, Ngada 165 ekor, Manggarai 2 ekor, Sumba Timur 176 ekor, dan Sumba Barat 19 ekor. Penyakit SE juga menyerang pada Kerbau dimana telah terjadi 265 kasus dengan rincian Kabupaten Rote/Ndao 11 ekor, Ngada 190 ekor, Manggarai 10 ekor, Manggarai Barat 2 ekor dan Sumba Barat 52 ekor (Christie, 2007).

2.2.2 Penyakit Thelaziasis
Penyakit Thelaziasis adalah penyakit cacing mata yang menyerang ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing dan domba). Penyakit Thelaziasis dapat dijumpai
sepanjang tahun, tetapi kasus penyakit ini terbanyak dijumpai pada musim
hujan, khususnya pada awal musim hujan, dimana lalat rumah jumlahnya
melipat. Kerugian akibat penyakit cacing mata antara lain: adanya gangguan pertumbuhan badan, penurunan berat badan dan yang lebih fatal adalah kebutaan yang akhirnya bisa berakibat kematian pada ternak.

2.2.3 Scabies
Penyakit Scabies adalah penyakit pada ternak yang dikenal oleh masyarakat petani peternak disebut Kudis. Penyakit Scabies bersifat zoonosa, artinya dapat menular kepada manusia. Ternak yang terserang penyakit ini akan mengalami penurunan kondisi terutama berat badan, penurunan kualitas daging/ karkas, kerusakan dan
penurunan nilai kulit. Penyakit ini disebabkan oleh sejenis tungau, pada sapi disebabkan oleh Chorioptes bovis.

2.2.4 Blaot
Bloat/kembung perut merupakan bentuk penyakit/kelainan alat pencernaan yang bersifat akut, yang disertai penimbunan gas di dalam lambung ternak ruminansia. Penyakit kembung perut pada sapi lebih banyak terjadi pada sapi perah dibandingkan dengan sapi pedaging atau sapi pekerja. Bloat/ kembung perut dapat disebabkan oleh 2 faktor yaitu:
a.Faktor makanan/ pakan:
• Pemberian hijauan Leguminosa yang berlebihan.
• Tanaman/ hijauan yang terlalu muda.
• Biji bijian yang digiling sampai halus.
• Imbangan antara pakan hijauan dan konsentrat yang tidak seimbang (konsentrat lebih banyak).
• Hijauan yang terlalu banyak dipupuk dengan Urea.
• Hijauan yang dipanen sebelum berbunga (terlalu muda) atau sesudah turunnya hujan terutama pada daerah yang sebelumnya kekurangan air.
• Makanan yang rusak/ busuk/ berjamur.
• Rumput/ hijauan yang terkena embun atau terkena air hujan.


b. Faktor ternak itu sendiri
• Faktor keturunan.
• Tingkat kepekaan dari masing masing ternak.
• Ternak bunting yang kondisinya menurun.
• Ternak yang sedang sakit atau dalam proses penyembuhan.
• Ternak yang kurang darah (anemia).
• Kelemahan tubuh secara umum.
2.2.5 Traumatis
Traumatik pada sapi disebabkan karena adanya kecelakaan selama di padang pengembalaan sehingga menyebabkan terjadinya luka dan patah tulang. Selain itu proses pengangkutan ternak juga bisa menyebabkan trauma pada tubuh ternak.
2.2.6 Brucellosis
Brucellosis merupakan penyakit menular yang menyerang beberapa jenis hewan Terutama sapi serta dapat juga menyerang manusia. Penyakit ini dapat mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar akibat terjadinya keguguran (keluron). Pada sapi, keluron biasanya terjadi pada kebuntingan berumur 7 bulan. Anak yang dilahirkan lemah kemudian mati. Dapat terjadi gangguan alat alat reproduksi, sehingga hewan menjadi mandul (majir) temporer atau permanen. Penyebab penyakit ini adalah bakteri/ kuman Brucella. Beberapa spesies yang sering menimbulkan masalah bagi ternak ruminansia adalah Brucella melitensis yang menyerang
kambing dan Brucella abortus yang menyerang sapi. Infeksi terjadi melalui saluran makanan, saluran kelamin, selaput lendir atau kulit yang luka. Penularan juga dapat melalui inseminasi buatan (IB) akibat penggunaan semen yang tercemar oleh kuman Brucella. Brucella melitensis dapat menginfeksi sapi sewaktu digembalakan pada padang penggembalaan bersama sama dengan domba/ kambing yang terinfeksi.
Prevalensi reaktor brucellosis pada sapi potong pada peternakan tradisional bervariasi. Di daerah endemik, di beberapa desa di Kabupaten TTU dan Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), prevalensinya dapat mencapai 45%. Sedangkan di Kabupaten TTS dan Kupang yang bertetangga dengan kedua kabupaten tersebut, prevalensinya masih rendah yaitu berturut-turut 0,09% dan 0,15%. Perbedaan ini diduga berkaitan dengan perniagaan ternak; Kabupaten TTS merupakan gudang ternak sehingga kebanyakan sapi dikeluarkan dari kabupaten ini (Rompis, 2002).
Brucellosis pertama kali didiagnosis pada tahun 1986, yaitu di Pulau Timor. Selanjutnya, reaktor brucellosis ditemukan di Pulau Sumba tahun 1992 dan di Pulau Flores tahun 1994. Dari perkembangan penyakit akhir-akhir ini, kejadian brucellosis cenderung semakin meningkat baik jumlah maupun luas penyebarannya (Rompis, 2002). Pada tahun 1986, prevalensi brucellosis di Propinsi NTT (Kabupaten Belu dan TTU) masih di bawah 1%, namun 10 tahun kemudian prevalensinya menjadi sekitar 4%; dengan pertumbuhan sekitar 4% per 10 tahun.















BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Penyakit SE
Penyakit Septicemia Epizootika (SE) merupakan penyakit endemik di kecamatan Takari, dimana setiap tahun penyakit ini selalu muncul. Pada tahun 2008 penyakit SE menyerang 266 ekor dan 120 ekor diantaranya mati (Puskeswan Takari, 2009). Tingginya angka kematian akibat infeksi SE yang mencapai 45% disebabkan karena terlambatnya penanganan karena sistem pengembalaan yang ekstensif menyebabkan kurangnya perhatian peternak pada ternaknya.
Penyakit SE disebabkan karena infeksi bakteri Pasteurella multocida, dimana ternak akan mengalami gejala klinis seperti (1) Kondisi tubuh lesu dan lemah, (2) Suhu tubuh meningkat dengan cepat diatas 41 ยบ C, (3) Tubuh gemetar, mata sayu dan berair, (4) Selaput lendir mata hiperemik, (5) Nafsu makan, memamah biak, gerak rumen dan usus menurun sampai hilang disertai konstipasi, (6) Pada bentuk busung, terjadi busung pada kepala, tenggorokan, leher bagian bawah, gelambir dan kadang kadang pada kaki muka. Derajad kematian bentuk ini dapat mencapai 90 % dan berlangsung cepat (3 hari – 1 minggu). Sebelum mati, hewan terlihat mengalami gangguan pernapasan, sesak napas (dyspneu), suara ngorok dengan gigi gemeretak. (7) Pada bentuk pektoral, tanda tanda brhoncopnemoni lebih menonjol. Mula mula bentuk kering dan nyeri diikuti keluarnya ingus, pernapasan cepat dan susah. Pada bentuk ini proses penyakit berlangsung lebih lama (1 – 3 minggu), (8) Penyakit yang berjalan kronis, hewan menjadi kurus dan sering batuk, nafsu makan terganggu dan terus menerus mengeluarkan air mata, suhu badan normal tetapi terjadi mencret bercampur darah (Anon., 2001)
Upaya pencegahan bisa dilakukan dengan vaksinasi menggunakan vaksin Septivet. Vaksinasi hanya bisa dilakukan terhadap ternak yang sehat dengan vaksin oil adjuvant. Sedikitnya setahun sekali dengan dosis 3 ml secara intramuskuler. Vaksinasi dilakukan pada saat musim pancaroba. Ternak sapi yang sudah terinfeksi dan menunjukan gejala klinis, pada tahapan tertentu masih bisa dilakukan pengobatan dengan menggunakan antibiotika sebagai berikut : 1) Oxytetracycline dengan dosis 50 mg/10 Kg BB, 2) Streptomycin dengan dosis 5 –10 mg/Kg BB, dan 3) Sulphadimidine (Sulphamezathine) dengan dosis 2 gram/30 Kg BB. Ternak yang terserang penyakit SE dapat dipotong dan dagingnya dapat dikonsumsi dibawah pengawasan Dokter Hewan/ petugas kesehatan hewan. Jaringan yang terserang terutama paru paru dimusnahkan dengan dibakar atau dikubur. Semua pakan dan minuman yang tercemar harus
dimusnahkan dan wadahnya disucihamakan.

3.2 Thelaziasis ( Cacing Mata )
Penyakit Thelaziasis merupakan penyakit pada mata yang disebabkan oleh sejenis cacing Spirurida dari golongan Thelazia yaitu: Thelazia bulusa, Thelazia lacrimalis dan Thelazia alfortensis yang terdapat dipermukaan conjunctiva mata. Di kecamatan Takari penyakit ini pada tahun 2008 menyerang 152 ekor ternak sapi dimana 2 ekor diantaranya mati sedangkan 63 ekor mengalami kebutaan sementara (Puskeswan Takari, 2009). Thelaziasis terjadi sepanjang tahun, tetapi kasusnya cenderung meningkat pada awal musim penghujan.
Penyakit ini ditularkan dengan perantara lalat rumah (Musca domestica) melalui kaki kaki lalat tersebut yang mengenai air mata ternak yang menderita penyakit, kemudian ditularkan kepada ternak lainnya pada saat lalat hinggap didekat mata. Tanda-tanda klinis yang dapat terlihat adalah keluarnya air
mata, adanya cacing Thelazia sp seperti benang putih yang bergerak-gerak diatas permukaan bola mata pada saat kelopak mata ternak dibuka, Ternak terlihat seperti takut bila terkena cahaya/ sinar matahari (photophobia), dan apabila penyakit berlanjut
akan terjadi pembengkakan pada mata, luka pada cornea mata , kekeruhan (mata)
pada cornea mata dan akhirnya akan timbul kebutaan.
Upaya pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan menjaga Sanitasi dan kebersihan di sekitar ternak, Memberikan asap disekitar kandang untuk mengusir lalat rumah dan jenis lalat lainnya yang hinggap dimata ternak, dan apabila ada ternak yang sakit segera dipisah dengan yang sehat dan diobati sampai sembuh. Pengobatan bisa dilakukan dengan jalan mengambil cacing dengan pinset setelah mata dianasthesi secara lokal dengan menetesi mata menggunakan Procain HCL 2% dan dibiarkan selama 3-5 menit atau dengan menggunakan obat tetes mata seperti larutan Acidum Boricum 3% (Boorwater), larutan Diethyl tartrat 0,002 %, larutan Morantel tartrat 4 % dan Tetramisole 2 – 3 tetes pada mata. Ternak yang sakit dagingnya bisa dikonsumsi.
3.3 Scabies
Penyakit Scabies adalah penyakit pada ternak yang dikenal oleh masyarakat petani peternak disebut Kudis. Penyakit Scabies bersifat zoonosa, artinya dapat menular kepada manusia. Ternak yang terserang penyakit ini akan mengalami penurunan kondisi terutama berat badan, penurunan kualitas daging/ karkas, kerusakan dan penurunan nilai kulit. Di kecamatan Takari angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, dimana pada tahun 2008 mencapai 121 ekor tetapi tidak menimbulkan kematian ternak Puskeswan Takari, 2009).
Penyakit ini disebabkan oleh sejenis tungau, yaitu Chorioptes bovis. Penularan penyakit ini terjadi bila kontak langsung antara ternak sakit dengan ternak sehat, atau melalui peralatan kandang yang tercemar oleh penyakit. Tanda tanda penyakit ini yaitu
gatal-gatal hebat yang ditandai dengan menggosok-gosokkan tubuh pada dinding kandang atau batang pohon serta menggigit gigit bagian tubuh yang terserang penyakit (moncong, telinga, leher, dada, perut, pangkal ekor dan sepanjang punggung serta kaki). Akibat gosokan dan gigitan sehingga terjadi luka-luka dan lecet. Pada penyakit yang agak lanjut, kulit mengeras dan menebal serta melipat-lipat sehingga pada tempat tersebut bulunya lepas dan kelihatan gundul.
Upaya pencegahan yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan Sanitasi/ kebersihan kandang dan pemberian makanan yang bergizi, Ternak yang sakit dipisahkan dari yang sehat dan diobati sampai sembuh. Pengobatan yang bisa dilakukan adalah mengolesi kulit yang luka dengan Benzoas Bensilikus 10 %, Disemprot/ direndam dengan BHC 0,05 % atau Coumaphos 0,05 sampai 1 %, injeksi Ivermectin (Ivomec), diberikan secara subcutan, Salep Coumaphos 1 – 2 % (dalam vaselin) dan salep belerang 5 % (5 gram bubuk belerang + 100 gram vaselin). Ternak yang menderita penyakit diperbolehkan dipotong dan dagingnya dapat dikonsumsi sepanjang mutunya/ kualitasnya masih baik dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga dalam pemotongannya harus dalam pengawasan dokter hewan. Kulit yang mengandung tungau/ penyakit harus segera dimusnahkan.

3.4 Bloat
Bloat/ kembung perut merupakan bentuk penyakit/ kelainan alat pencernaan yang bersifat akut, yang disertai penimbunan gas di dalam lambung ternak ruminansia. Di kecamatan Takari, kejadian bloat pada ternak sapi tahun 2008 sebanyak 99 ekor, dimana 3 ekor diantaranya mati (Puskeswan Takari, 2009). Tanda-tanda penyakit ini yaitu 1) Terjadinya pembesaran perut sebelah kiri yang tampak menonjol keluar dan berisi gas, 2) Ternak gelisah, sebentar berbaring lalu segera bangun, 3) Ternak mengerang, 4) Nafsu makan turun bahkan tidak mau makan, 5) Ternak bernapas dengan mulutnya, dan 6) Pada saat berbaring, ternak menjulurkan lehernya untuk membebaskan angin/ gas dari perut.

Upaya pencegahan yang bisa dilakukan yaitu 1) Tidak menggembalakan/ melepas ternak terlalu pagi, karena rumput masih mengandung embun, 2) Ternak jangan terlalu lapar, 3) Hijauan yang akan diberikan hendaknya dilayukan terlebih dahulu, 4) Jangan memberikan makanan yang sudah rusak/ busuk/ berjamur. 5) Menghindari leguminosa yang terlalu banyak dalam ransum. Tindakan pengobatan bisa dilakukan dengan memberikan Anti Bloat (bahan aktif: Dimethicone), dengan dosis sapi100 ml obat diencerkan dengan 500 ml air, kemudian diminumkan atau dengan Wonder Athympanicum, dengan dosis 20 – 50 gram, yang dicampur air secukupnya,
kemudian diminumkan. Ternak yang menderita penyakit ini dagingnya dapat dikonsumsi.

3.5 Traumatis
Kejadian trauma pada sapi di Kecamatan Takari pada tahun 2008 sebanyak 84 ekor, dengan 4 ekor diantaranya mengalami patah tulang (Puskeswan Takari, 2009). Trauma ini disebabkan karena kecelakaan pada saat berada dipadang pengembalaan. Belum ada upaya pencegahan yang efektif, sehingga ternak yang mengalami trauma hanya dilakukan pengobatan dengan memberikan suntikan antibiotik dan desinfektan pada luka luarnya.
3.6 Brucellosis
Penyakit Brucellosis merupakan penyakit bakterial yang disebabkan oleh kuman Brucella abortus.Infeksi terjadi melalui saluran makanan, saluran kelamin, selaput lendir atau kulit yang luka. Penularan juga dapat melalui inseminasi buatan (IB) akibat penggunaan semen yang tercemar oleh kuman Brucella. Kejadian penyakit ini dikecamatan Takari pada tahun 2008 sebanyak 38 ekor (Puskeswan Takari, 2009).
Menurut Anon. (2001) tanda tanda yang ditemukan pada penderita adalah sebagai berikut:
1. Terjadi keguguran/ keluron pada kebuntingan 5 – 8 bulan.
2. Sapi mengalami keguguran/ keluron 1 sampai 3 kali, kemudian kelahiran normal dan kelihatan sehat.
3. Kemajiran/ kemandulan temporer atau permanen.
4. Pada sapi perah terjadi penurunan produksi susu.
5. Cairan janin yang keluar kelihatan keruh.
6. Pada hewan jantan terjadi peradangan pada buah pelir dan saluran sperma.
7. Kadang kadang ditemukan kebengkakan pada persendian lutut.
Upaya pencegahan bisa dilakukan dengan melokalisir daerah yang terinfeksi dan tidak menggabungkan ternak yang sehat dengan ternak yang sakit. Untuk ternak yang positif terinfeksi segera dilakukan culling/eradikasi sehingga tidak menularkan ke ternak yang lain. Sampai saat ini belum ada obat yang efektif untuk mengatasi penyakit ini.

















BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN


4.1 Simpulan
Penyakit ternak sapi di kecamatan Takari terdiri dari penyakit Septicemia Epizootika (SE) sebesar 35% atau 266 ekor dengan 120 ekor diantaranya mati, penyakit Thelaziasis sebesar 20% atau 152 ekor dengan 2 ekor mati dan 63 ekor mengalami kebutaan, penyakit Scabies sebesar 16% atau 121 ekor, penyakit Bloat sebesar 13% atau 99 ekor dengan 3 ekor diantaranya mati, Traumatis sebesar 11% atau 84 ekor dan sisanya penyakit Brucellosis sebanyak 38 ekor.
4.2 Saran
Masih tingginya angka serangan penyakit di kecamatan Takari yang masih mencapai 5,1% maka perlu adanya peningkatan proses pelayanan kesehatan ternak dengan optimalisasi peran Puskeswan.











Daftar Pustaka


Anonim. 2001, Brosur Nomor: 03/Brosur/ARMP NTB/2001,Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB, Mataram

Bamualim, A. B., R. B. Wirdahayati and A. Saleh. 1990. Bali cattle production from Timor island. Research report, BPTP, Lili, Kupang.
Bamualim, A.B, 1992, Sistem Peternakan Lahan Kering, Kumpulan Bahan Kuliah, Undana, Kupang

Christie, B.M. 2007. A review of animal health research opportunities in Nusa Tenggara Timur and Nusa Tenggara Barat provinces, eastern Indonesia. Canberra, ACIAR Technical Reports No. 65.
Dinas Peternakan Propinsi NTT, 2010 , Renstra Dinas Peternakan, Kupang

Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Laporan Tahunan. Jakarta

Disnakpet, 2008, Statistik Peternakan, Kupang

Fattah, S., 1998, The Produktivity of Bali Cattle Maintained in Natural Grassland: a Case of Oesusu, East Nusa Tenggara, PhD Thesis, Universitas Padjajaran, bandung

Jelantik, I.G.N, M.L.Mullik, R.R.Copland, 2009,Cara Praktis Menurunkan Angka Kematian dan Meningkatkan Pertumbuhan Pedet sapi Bali Melalui Pemberian Pakan Suplemen. Undana Press. Kupang

Jelantik, I.G.N., 2001, Improving Bali Cattle Production Through Protein Suplementation. PhD Thesis. The Royal Veterinary and Agricultural University, Copenhage, denmark.

Malessy, C.J., 1990, Kebijakan Pembangunan Peternakan di Nusa Tenggara Timur. Temu ugas dan temu lapang penelitian dan pengembangan peternakan propinsi NTT, NTB dan Timor Timur.

Mullik, M.L. dkk, 2007. Mutu Genetik Sapi Timor di Nusa Tenggara Timur. Kupang

Puskeswan Takari. 2009. Laporan Tahunan. Kupang.

Rompis, A. 2002. Epidemiologi Bovine Brucellosis dengan Penekanan pada Kejadian di Indonesia. Jurnal Veteriner Vol. 3 No. 4 Desember 2002.
Siregar, 2006, Beternak Sapi Bali, Kanisius, Jakarta

Suharyo, B. Aryana, dan R. Leka. 2007. Lembaga Penelitian SMERU. Kupang

Suryana, Ahmad. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Pangan Peternakan Bermutu, Aman Dan Halal. Balitbang Deptan. Jakarta

Wirdahayati,R.B., 2004, Reproductive Characteristic And Productivity of Bali and Ongole Cattle in Nusa Tenggara, PhD Thesis, Queensland University, Australia

1 komentar:

  1. terima kasih sebelumnya dok, saya mau menanyakan penelitian di atas menggunakan metode pendekatan apa ?

    BalasHapus